25 April 2016

PWI dan “Cermin Rusak” Alwi Hamu


SALAM KOMANDO. Mantan Ketua PWI Sulsel, HM Alwi Hamu (kiri) foto bersama Asnawin Aminuddin (Direktur Perpustakaan Pers PWI Sulsel), pada acara Silaturrahim Wartawan Senior PWI dengan Bapak HM Alwi Hamu, di Lantai 19 Graha Pena, Makassar, Sabtu, 9 Januari 2016. (Foto: Usman Nukma)




------------


PWI dan “Cermin Rusak” Alwi Hamu


Oleh: Asnawin Aminuddin
(Direktur Perpustakaan Pers PWI Sulsel)

Ketika sejumlah wartawan–yang juga merupakan pejuang kemerdekaan–mengadakan pertemuan dan kemudian menyetujui pembentukan organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), di Sono Suko, Surakarta, pada 9 Februari 1946, Alwi Hamu baru berumur satu tahun enam bulan dan 14 hari.
Alwi Hamu ketika itu, tentu saja belum tahu bahwa pertemuan di Surakarta yang berlangsung selama dua hari (9-10 Februari 1946) dan dihadiri sejumlah tokoh pers yang sedang memimpin surat kabar dan majalah, antara lain menyepakati memilih Raden Mas Soemanang Soerjowinoto atau Mr Soemanang sebagai ketua, dan Soedarjo Tjokrosisworo sebagai sekretaris PWI.
Setelah menjadi wartawan (awalnya wartawan kampus), apalagi setelah memimpin Harian Fajar dan kemudian terpilih sebagai Ketua PWI Sulsel (1993-1996, 1996-1999), tentu Alwi Hamu sudah tahu siapa-siapa saja wartawan yang menghadiri pertemuan di Surakarta ketika itu.
Bahwa selain Mr Soemanang Surjowinoto (salah seorang pendiri dan direktur pertama LKBN Antara), dan Sudarjo Tjokrosisworo (Surat kabar Soeara Oemoem yang didirikan dokter Soetomo), pertemuan tersebut turut dihadiri Sjamsuddin Sutan Makmur (Harian Rakyat Jakarta), BM Diah (Harian Merdeka, Jakarta), Abdul Rachmat Nasution (kantor berita Antara, Jakarta), Ronggodanukusumo (Suara Rakyat, Mojokerto), Mohammad Kurdie (Suara Merdeka, Tasikmalaya), Bambang Suprapto (Penghela Rakyat, Magelang), Sudjono (Surat Kabar Berjuang, Malang), dan Suprijo Djojosupadmo (Surat Kabar Kedaulatan Rakyat,Yogyakarta).
Mereka–para inisiator terbentuknya PWI–bukan sekadar wartawan, melainkan sekaligus pejuang. Mereka adalah pejuang kemerdekaan. Mereka berjuang merebut kemerdekaan melalui media massa. Mereka berjuang memertahankan kemerdekaan melalui media massa.
Jiwa juang mereka masih dapat dirasakan jika membaca tujuan PWI dalam Peraturan Dasar PWI, yang antara lain berbunyi: “Tujuan PWI adalah tercapainya cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, serta terwujudnya kehidupan Pers Nasional yang merdeka, profesional, bermartabat, dan beradab.”
Jiwa juang itu pulalah yang melekat pada diri seorang Alwi Hamu, sehingga mampu memimpin dan membesarkan Harian Fajar di Makassar. Bukan hanya membesarkan koran Fajar, melainkan juga mendirikan banyak perusahaan lainnya, baik perusahaan media massa, maupun perusahaan atau usaha dalam bidang lain.
Kalau kemudian Alwi Hamu berkeinginan atau bersedia menjadi Ketua PWI Sulsel, maka tak bisa dimungkiri, itu karena ada panggilan suci dan jiwa juang dalam dirinya untuk membantu para wartawan dan juga menjaga eksistensi organisasi pers dalam mengawal pembangunan.
Maka langkahnya yang cukup mulus menjadi “pemain nasional” sebagai pengurus dan kemudian menjadi penasehat PWI Pusat, serta sebagai pengusaha nasional, bahkan kini menjadi “pemain dunia” dengan menerbitkan media cetak di Hongkong, tentu tidak lepas dari jiwa juang yang dimilikinya.

Cermin Rusak

Pertanyaannya, apa rahasia sukses seorang Alwi Hamu sehingga mampu menjalani dan melewati berbagai tantangan dan rintangan dalam meniti kariernya? Cukupkah dengan jiwa juang yang tumbuh dalam dirinya sejak masih muda?
Pada suatu acara silaturrahim wartawan senior PWI yang juga dihadiri ketua dan beberapa mantan ketua PWI, Alwi Hamu mengungkapkan bahwa saat sedang berjuang menstabilkan penerbitan Harian Fajar, dirinya mengalami banyak cobaan, termasuk “gangguan” dari teman seprofesi.
Gangguan itu antara lain datang dari (almarhum) Arsal Alhabsyi (wartawan, seniman, penulis, dan pendiri Mingguan ORDE BARU) yang hampir setiap minggu mengeritik dan memaki Alwi Hamu melalui tulisan, yang oleh Alwi Hamu disebut sebagai “surat cinta.”
Kritikan dan makian Arsal kadang-kadang bahkan sangat menyakitkan, tetapi Alwi Hamu tak pernah marah dan juga tak pernah membalas kritikan dan makian tersebut. Ia malah “sangat menikmati” kritikan dan makian-makian tersebut.
Semua tulisan Arsal dikumpulkan dan kemudian dibukukan dengan judul “Inspirasiku”. Maka ketika Arsal Alhabsyi meninggal dunia, Alwi Hamu merasa sangat kehilangan.
Sikap berbeda ia rasakan ketika (almarhum) Husni Jamaluddin (wartawan, seniman, politisi) mengeritik dan memaki-maki dirinya dengan sebutan “cermin rusak.” Sebutan itu membuat Alwi Hamu sangat tersinggung.
Meskipun tersinggung, Alwi tidak langsung melampiaskan kemarahannya. Dengan berat hati ia membaca tulisan Husni Jamaluddin dan ternyata tulisan tersebut berisi pujian kepada dirinya.
Dalam tulisan itu, Husni Jamaluddin mengibaratkan Alwi Hamu seperti cermin rusak yang tidak marah dan tidak membalas, meskipun dirinya dikritik, dicaci-maki, dan dirusak nama baiknya.
Setelah membaca tulisan bergaya sastra tersebut, Alwi Hamu langsung mendatangi dan mencium tangan Husni Jamaluddin.
Meminjam ucapan Alwi Hamu, tak ada salahnya penulis mengajak teman-teman wartawan (termasuk pengurus PWI Sulsel masa bakti 2015-2020 yang baru dilantik) agar tetap tersenyum dan menyambut dengan baik segala kritikan, cacian, dan makian, karena semua itu dapat menjadi motivasi bagi kita untuk berbuat lebih baik dalam segala hal, terutama dalam bidang jurnalistik dan kewartawanan.

------------- 
@copyright Harian FAJAR Makassar, Halaman 08, Edisi Rabu, 13 Januari 2016
---------
http://fajaronline.com/2016/01/13/pwi-dan-cermin-rusak-alwi-hamu/
---------------------



Tidak ada komentar: