28 Juli 2010

Gaya Berkomunikasi di Tengah Konflik


Apa yang membedakan antara orang hebat dengan orang biasa. Bedanya adalah orang hebat itu selalu bertindak, berani berbuat, berani mencoba, berani bertarung, serta berani menanggung risiko, sedangkan orang biasa tidak memiliki keberanian itu.

Orang biasa hanya memiliki keinginan, tetapi tidak berani bertindak. Mereka hanya bermimpi (di siang bolong) dan senang berandai-andai.

13 Juli 2010

Informasi Publik Harus Dibuka



Informasi Publik Harus Dibuka

Oleh : Asnawin
(Humas Kopertis Wilayah IX Sulawesi)

Dulu, semua informasi tertutup, kecuali yang dibuka. Sekarang, semua informasi terbuka, kecuali yang ditutup. Dulu, jangankan informasi pribadi, informasi publik pun banyak yang sengaja ditutup. Sekarang, jangankan informasi publik, informasi pribadi pun banyak yang sengaja dibuka.

Di era keterbukaan informasi dan kebebasan pers dewasa ini, semua informasi seolah-olah bebas dibuka dan disampaikan kepada publik, termasuk rekening pribadi pejabat publik dan video koleksi pribadi sepasang kekasih atau sepasang suami isteri.

Para pejabat publik dan selebritis kini tidak lagi bebas menyimpan rahasia, apalagi bersembunyi dari ’’pandangan mata’’ wartawan dan orang-orang di sekelilingnya, apalagi dari orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu atau akan mendapatkan keuntungan jika informasi rahasia dan borok para pejabat publik dan selebritis tersebut dibuka kepada publik.

Kita mungkin tak bisa lagi menghindar dari kenyataan seperti itu. Mungkin itulah antara lain ’’buah’’ dari era reformasi, era keterbukaan, era globalisasi, serta era informasi dan komunikasi.

’’Buah’’ tersebut juga jatuh dan menimpa badan publik yakni lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara.

Badan publik yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), kini tidak bisa lagi bebas ’’menyembunyikan’’ informasi.

Malah sebaliknya, badan publik-termasuk organisasi nonpemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan atau APBD, sumbangan masyarakat, dan atau luar negeri-harus membuka informasi publik kepada masyarakat, terutama bila ada yang meminta.

Jika ada badan publik yang dengan sengaja menyembunyikan atau tidak menyediakan informasi secara terbuka, maka badan publik tersebut bisa dituntut. Begitulah tuntutan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang mulai berlaku sejak April 2010.

Instansi pemerintah, kepolisian, militer, kejaksaan, pengadilan, partai politik, BUMN, lembaga pendidikan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), yayasan, dan organisasi lain yang anggaran atau dananya berasal dari APBN/APBD atau sumbangan masyarakat, harus menyiapkan diri menghadapi UU KIP.

UU KIP mewajibkan semua badan publik tersebut menyediakan informasi publik secara transparan. Di antara informasi publik yang harus dibuka secara transparan adalah semua rencana kebijakan publik, penggunaan keuangan, dan kegiatan yang dilakukan badan publik.

Meskipun demikian, tetap ada yang dikecualikan, yaitu informasi yang dirahasiakan dan hanya boleh diminta dengan beberapa persyaratan.

Pertanyaannya, manakah yang tergolong informasi publik yang harus tersedia dan terbuka untuk umum?

Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan atau badan publik lainnya yang sesuai dengan UU KIP, serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Di sinilah bedanya antara informasi biasa dan informasi pribadi dengan informasi publik. Kalau tidak menyangkut badan publik dan tidak berkaitan dengan kepentingan publik, maka informasi tersebut tidak termasuk informasi publik.

Tetapi badan publik tidak perlu mempersoalkan hal tersebut, karena bagaimana pun juga UU KIP sudah lahir dan diberlakukan, sehingga sudah menjadi kewajiban bagi badan publik untuk menyiapkan informasi publik dan informasi publik harus dibuka.

Pejabat PID

Apakah semua badan publik sudah menyiapkan informasi publik yang di lingkungannya masing-masing? Apakah semua badan publik sudah memiliki pejabat atau bagian khusus yang menangani informasi dan dokumentasi? Apakah orang-orang yang ditunjuk menangani informasi publik dan dokumentasi memiliki pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan di bidang tersebut?

Inilah salah satu masalah krusial yang dihadapi badan publik. Bisa dipastikan bahwa belum semua badan publik memiliki atau telah menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang bertanggungjawab di bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan atau pelayanan informasi.

Kalau belum ada pejabat atau tenaga ahli yang memiliki kemampuan dalam hal penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan atau pelayanan informasi kepada publik, bagaimana mungkin informasi itu dapat disebarluaskan atau dirahasiakan dengan baik.

Kita berharap anggota Komisi Informasi benar-benar memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam bidang informasi publik. Badan Publik di berbagai instansi/lembaga lainnya pun harus mempersiapkan dan merekrut PPID yang kompeten di bidangnya dalam menjalankan aktivitas pengelolaan dan pelayanan informasi kepada publik.

PPID tidak harus berlatar-belakang pendidikan formal ilmu komunikasi, karena yang lebih penting adalah menguasai bidang pengelolaan informasi dan dokumentasi atau keterampilan dalam hal mengumpulkan, mengolah, mengorganisir, menyimpan, menyebarluaskan atau diseminasi, dan memberikan pelayanan informasi secara profesional.

Pimpinan instansi, lembaga, atau badan publik tidak boleh salah memilih orang dalam merekrut pejabat dari bidang lain yang sama sekali tidak memiliki kompetensi dalam bidang informasi dan dokumentasi. Juga tidak boleh hanya memindahkan staf dari bidang lain menjadi PPID, karena itu bukanlah langkah yang tepat.

Selain itu, masih banyak yang harus diperhatikan oleh badan publik dalam menyongsong pemberlakuan UU KIP, antara lain menyiapkan sistem manajemen informasi publik yang terorganisasi dan menyiapkan anggaran komunikasi publik.

Sistem manajemen informasi dan pengelolaannta tentu membutuhkan anggaran khusus, apalagi UU KIP ’’memerintahkan’’ badan publik menyediakan informasi publik secara berkala minimal dua kali dalam setahun.

Badan publik juga wajib menyampaikan informasi secara berkala melalui media massa (internal dan eksternal), menyampaikan informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak, serta menyampaikan kepada khalayak ramai informasi setiap saat melalui situs website.
Masyarakat menginginkan kemudahan dalam mengakses informasi publik dan UU KIP juga menegaskan hal tersebut. Masyarakat dan UU KIP menuntut informasi publik harus dibuka, maka badan publik harus memilih PPID yang profesional yang harus siap memenuhi tuntutan tersebut.

Keterangan:
- Artikel / Opini ini dimuat di harian Ujngpandang Ekspres, halaman 12, edisi Rabu, 14 Juli 2010.

06 Juli 2010

Humas, UU KIP, dan Bahasa



Humas, UU KIP, dan Bahasa

Oleh: Asnawin
(Humas Kopertis Wilayah IX Sulawesi)

Humas menyiapkan ‘’mental’’ institusi untuk memahami kepentingan publik, serta mengevaluasi perilaku publik dan institusi untuk direkomendasikan kepada pimpinan. Kata lainnya, humas menyiapkan prakondisi untuk mencapai saling pengertian, saling percaya, dan saling bantu terhadap tujuan-tujuan publik institusi yang diwakilinya.


Humas itu sebenarnya tergolong makhluk aneh. Bentuknya dapat berubah-ubah, tergantung bagaimana sebuah instansi memosisikannya. Ada humas struktural (divisi, bagian, atau sub bagian), ada pula humas fungsional (tidak ada dalam struktur). Tugas, fungsi, dan peranannya sama, tetapi perlakuan kepada mereka kadang-kadang berbeda.

Banyak sekali fungsi humas, tetapi ada dua fungsi pokoknya, yaitu fungsi konstruktif (perata jalan) dan fungsi korektif (pemadam kebakaran). Sebagai ‘’perata jalan’’, humas merupakan garda terdepan. Di belakangnya, ada ‘’rombongan’’ tujuan-tujuan institusi atau lembaga.

Fungsi konstruktif mendorong humas membuat aktivitas atau kegiatan terencana dan berkesinambungan. Dengan kata lain, humas bertindak preventif (mencegah).

Kalau ‘’api’’ sudah terlanjur menjalar dan ‘’membakar’’ institusi, maka humas harus memadamkan api tersebut. Maksudnya, jika terjadi krisis atau masalah dengan publik, maka humas harus proaktif mengatasinya (kuratif).

Sering terjadi, humas dipanggil dan dibutuhkan kehadirannya pada saat ada masalah atau krisis, tetapi dalam kondisi ‘’aman-aman saja’’, humas seolah-olah tidak dibutuhkan. Tidak ada bedanya dengan petugas pemadam kebakaran. Humas juga kerap disalahkan jika terjadi masalah atau krisis yang berkaitan dengan publik.

Menghadapi penerapan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) sejak 1 Mei 2010, humas pemerintahan dan humas lembaga-lembaga publik lainnya, pasti dituntut menjalankan kedua fungsi tersebut.

Humas pasti diharapkan ‘’meratakan jalan’’ dan menghindarkan terjadinya ‘’kebakaran’’. Artinya, humas harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat atau publik sebagai bentuk pertanggungjawaban atas segala tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada institusi, serta menyiapkan segala informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Pasal 13 UU KIP menekankan bahwa untuk mewujudkan pelayanan cepat, tepat, dan sederhana, maka setiap Badan Publik harus menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi, yang dibantu oleh pejabat fungsional.

Pejabat fungsional inilah yang biasa disebut humas. Pada sebagian besar instansi, apalagi instansi yang dibawahi oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten, seperti Dinas atau Badan, humas bukan jabatan struktural, melainkan hanya fungsional. Artinya, hanya difungsikan sebagai humas, tetapi tidak ada dalam struktur instansi atau kepegawaian.

Inilah kendala umum yang dialami para humas. Di satu sisi, mereka diberi tugas dan tanggung-jawab yang cukup besar, mulai dari menyediakan informasi publik, memberikan informasi kepada masyarakat luas tentang kegiatan instansi, hingga menciptakan citra positif instansi dan ”menangkis” berbagai ”serangan” informasi yang dapat merusak citra instansi.

Di sisi lain, humas tidak diberi kewenangan yang proporsional dan seringkali tidak dipenuhi kebutuhan-kebutuhannya dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Sekadar mengingatkan, humas atau hubungan masyarakat diadopsi dari bahasa Inggris, yakni public relations. Public relations (PR) adalah praktek mengelola komunikasi antara organisasi dengan publik atau masyarakatnya.

Dari pengertian tersebut, maka humas dapat diartikan sebagai seni berkomunikasi atau seni menciptakan pengertian publik yang lebih baik, sehingga dapat memperdalam kepercayaan masyarakat terhadap organisasi.

Dengan demikian, orang yang ditempatkan atau menempati posisi sebagai humas dalam sebuah instansi pemerintahan atau badan publik, harus memiliki jiwa seni dalam melaksanakan tugasnya. Tanpa jiwa seni itu, maka pejabat atau staf humas dapat mengalami stres dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, apalagi jika posisi humas hanya fungsional dengan tanggung jawab besar tanpa diimbangi fasilitas dan dana yang memadai.

UU KIP

Tidak perlu ada yang dikhawatirkan oleh para humas dengan terbit dan berlakunya UU KIP, apalagi jika para humas sudah menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Humas tidak perlu menghafal mati seluruh 13 bab dan 64 pasal dalam UU KIP, karena hanya sebagian yang berkait langsung dengan tugas dan fungsi humas.

Pasal-pasal yang perlu dibaca, didiskusikan, dan dipahami oleh para humas dalam undang-undang tersebut, antara lain pasal 7 ayat (4), tentang kewajiban membuat pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap orang atas Informasi Publik. Informasi publik dimaksud tentu saja yang benar adanya dan tidak menyesatkan.

Humas juga perlu membaca dan memahami BAB IV tentang informasi yang wajib disediakan dan diumumkan, yakni informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala, informasi yang wajib diumumkan secara serta-merta, serta informasi yang wajib tersedia setiap saat.

Setiap tahun, humas juga wajib mengumumkan layanan informasi yang meliputi jumlah permintaan informasi yang diterima, waktu yang diperlukan Badan Publik dalam memenuhi setiap permintaan informasi, jumlah pemberian dan penolakan permintaan informasi, dan atau alasan penolakan permintaan informasi (pasal 12).

Humas dapat menolak memberikan informasi yang dikecualikan, karena hal tersebut diatur dalam Bab IV tentang informasi yang dikecualikan, khususnya pasal 17. Namun pasal 19 mengingatkan para humas agar melakukan pengujian dengan saksama dan penuh ketelitian sebelum menyatakan informasi publik tertentu yang dikecualikan untuk diakses oleh setiap orang.

Pastilah tidak semua informasi publik dapat begitu saja diberikan kepada setiap orang atau setiap pemohon, karena ada mekanisme yang mengaturnya, yaitu pada Bab VI tentang mekanisme memperoleh informasi.

Bahasa

Sebelum mengakhiri tulisan ini, penulis ingin mengingkatkan satu hal tentang pentingnya pengetahuan dan pemahaman bahasa bagi para humas.

Penulis yakin sudah banyak pejabat dan staf humas yang menguasai teknologi informasi dan komunikasi, sudah banyak yang mengelola media internal (buletin, tabloid, majalah, radio, website, blog), serta mahir membuat berita untuk media internal atau untuk siaran pers (press release).

Penulis juga yakin sudah banyak pejabat dan staf humas yang telah mengikuti pelatihan jurnalistik dan mungkin sering mengikuti kegiatan yang diadakan Bakohumas.

Meskipun demikian, penulis merasa perlu mengingatkan kepada rekan-rekan sesama pejabat atau staf humas tentang pentingnya mempelajari penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai ejaan yang disempurnakan, karena Informasi Publik harus disampaikan dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan dalam bahasa yang mudah dipahami.

Keterangan: Artikel ini dimuat pada halaman 4 (Opini) harian Fajar, Makassar, Rabu, 7 Juli 2010 (http://www.fajar.co.id/koran/1278438416FAJAR.UTM_7_4.pdf)