14 Juni 2010

Pemimpi(n)



Esai

Pemimpi(n)

Oleh Asnawin

Raja Negeri Antah-berantah sedang gundah-gulana. Hatinya gundah karena banyak hal. Mulai dari urusan penerus tahta kerajaan, soal pemerintahan, sampai kepada soal-soal kerakyatan.

Usianya sudah sangat sepuh, tetapi ia belum bisa menentukan siapa di antara enam putranya yang paling pantas menjadi raja.

Selain soal tahta kerajaan, Sang Raja juga gundah karena banyak masalah yang perlu diatasi dalam pemerintahan. Ada kasus bank sentral kerajaan, dan ada permintaan dana aspirasi yang jumlahnya cukup besar dari beberapa anggota parlemen kerajaan.

Rakyat juga sudah mulai berani melakukan aksi protes atas beberapa kebijakan kerajaan. Raja pun gundah dengan beredarnya di tengah masyarakat lukisan adegan porno yang mirip seorang penyanyi terkenal bersama seorang pemain teater terkenal di Negeri Antah-berantah.

Untunglah saat itu tengah berlangsung kejuaraan sepakbola antar-negeri selama sebulan penuh di negeri tetangga, sehingga perhatian sebagian rakyat tidak lagi terfokus kepada masalah pemilihan calon raja baru dan berbagai masalah lainnya.

Raja benar-benar masygul. Ia sudah berkali-kali berbicara dengan permaisuri dan penasehat kerajaan, tetapi dirinya belum bisa memilih satu di antara enam putranya untuk menjadi raja. Ketika ia mengumpulkan keenam putranya dan membahas siapa di antara mereka yang dianggap paling pantas menjadi raja, ternyata mereka semua merasa pantas.

Putra pertama dan putra kedua yang sudah berusia lebih dari 60 tahun mengaku pantas menjadi raja, karena telah berpengalaman sebagai menteri kerajaan.

Putra ketiga juga merasa pantas menjadi raja, karena dirinya punya pengalaman dan sukses dalam bidang perdagangan, punya banyak uang, serta kini juga tengah menjabat sebagai raja salah satu Anak Negeri.

Putra keempat tak mau kalah. Ia merasa pantas menjadi raja, karena dirinya adalah salah seorang hulubalang senior dan rakyat butuh pemimpin yang mampu memberikan rasa aman seperti dirinya.

Putra kelima yang juga punya pengalaman dalam bidang perdagangan dan pernah mengetuai parlemen kerajaan, pun merasa pantas menjadi raja.

Si bungsu yang kini masih duduk dalam parlemen kerajaan, juga tak mau ketinggalan. Ia merasa pantas menjadi raja karena sudah dua periode duduk dalam parlemen kerajaan dan pernah menjabat kepala adat pada salah satu Anak Negeri.

Karena belum bisa memilih, raja kemudian diam-diam mendatangi seorang pemuka agama untuk meminta masukan.

‘’Maaf Yang Mulia Raja, ini hanya sekadar saran. Kalau ada di antara mereka yang tidak terlalu berambisi, yang paling dapat dipercaya, yang paling jujur, yang paling cerdas, yang paling bijaksana, yang paling bagus komunikasinya, serta yang paling dekat dengan rakyat, maka itulah yang paling pantas menjadi raja,’’ kata sang pemuka agama.

Jawaban tersebut membuat raja makin gundah. Ia kemudian memanggil dan meminta masukan dari beberapa seniman dan budayawan.

Salah seorang seniman mengusulkan agar raja memilih satu di antara enam putra mahkota yang benar-benar berjiwa pemimpin, yaitu mereka yang mampu menuntun, membimbing, memandu, melatih, dan mendidik orang yang dipimpinnya.

Budayawan lain mengatakan; ‘’Benar Yang Mulia Raja, pilihlah yang berjiwa pemimpin, bukan pemimpi atau tukang mimpi, karena pemimpi itu hanya bisa berkhayal, berangan-angan, dan bermimpi tentang sesuatu yang muluk-muluk, tetapi ia tidak pernah melakukan upaya yang benar, serta tidak punya pengalaman dan kemampuan untuk mewujudkan mimpinya.’’

Raja tetap masygul dan gundah-gulana. Ia masih belum bisa memilih satu di antara enam putranya untuk menggantikannya sebagai Raja Negeri Antah-berantah. Ia berharap dapat menjatuhkan pilihan yang tepat, agar kerajaan dapat memberikan kesejahteraan, kedamaian, keamanan, dan ketenangan bagi rakyat banyak. ***

keterangan:
- Esai ini dimuat oleh harian Radar Bulukumba, halaman 3, Senin, 14 Juni 2010
- http://www.radarbulukumba.com/

10 Juni 2010

Mutasi



Esai

Mutasi

Oleh Asnawin

Seorang bocah bertanya kepada kakeknya. Ia bertanya tentang arti kata mutasi, sebuah kata yang sering didengarnya akhir-akhir ini. Sang kakek tersenyum lalu menceritakan sebuah dongeng. Pria tua berusia sekitar 70 tahun itu mengatakan bahwa mutasi sebenarnya adalah julukan kepada ‘’tiga bersaudara’’. Mereka tinggal di sebuah negeri bernama Antah-berantah.

Ketika si bocah bertanya dimana itu Negeri Antah-berantah, sang kakek mengatakan; ‘’Namanya juga Antah-berantah, tidak ada seorang pun yang tahu tempatnya.’’

Sang kakek kemudian melanjutkan ceritanya bahwa anak pertama alias si sulung bernama Promosi. Badannya besar dan kuat, tetapi sangat lincah dan selalu mampu melompat ke tempat yang lebih tinggi.

Anak kedua atau saudara tengah bernama Transfer. Badannya juga cukup besar, tetapi ia tak mampu melompat ke tempat yang lebih tinggi. Ia hanya bisa melompat dari satu tempat ke tempat lain yang sama tingginya.

Si bungsu bernama Demosi. Berbeda dibanding kedua kakaknya, Demosi tergolong kurus dan badannya agak lemah. Ia jarang sekali melompat. Kalau pun melompat, ia hanya mampu melompat ke tempat yang lebih rendah. Demosi sama sekali tak mampu melompat ke tempat yang sama tinggi, apalagi ke tempat yang lebih tinggi.

Dari ‘’tiga bersaudara’’ itu, si Promosi-lah yang sangat menonjol, sehingga ia cukup terkenal dan selalu mendapat pujian di Negeri Antah-berantah. Saudara kedua, si Transfer, sama sekali tidak terkenal. Si bungsu, Demosi, bahkan lebih terkenal dibanding Transfer, tetapi ketenarannya lebih karena ia tak memiliki kemampuan melompat ke tempat yang sama tinggi apalagi ke tempat yang lebih tinggi.

Karena selalu jalan bertiga dan warga Negeri Antah-berantah malas menyebut nama mereka satu per satu, maka nama mereka disingkat menjadi Motasi yang merupakan singkatan dari Promosi, Transfer, dan Demosi. Namun karena singkatan tersebut dianggap kurang bagus, maka warga Negeri Antah-berantah kemudian menggantinya dengan julukan Mutasi.

‘’Saking termasyhurnya julukan mereka, maka Kerajaan Negeri Antah-berantah kemudian memakainya sebagai istilah dalam urusan penempatan seseorang dalam jabatan tertentu di kerajaan,’’ kata sang kakek.

‘’Hebat sekali ya kek,’’ potong si bocah.

‘’Ya,’’ kata sang kakek.

Ia kemudian menjelaskan bahwa kerajaan memakai istilah mutasi pada setiap ada perubahan komposisi pegawai kerajaan. Selanjutnya, kerajaan menggunakan istilah promosi untuk mengangkat seseorang pegawai biasa menduduki sebuah jabatan tertentu atau menempatkan seseorang pegawai kerajaan dari jabatan lebih rendah ke jabatan yang lebih tinggi.

Perpindahan pegawai kerajaan dari satu jabatan ke jabatan lain yang sama tinggi atau selevel disebut transfer, sedangkan pejabat yang diturunkan dari jabatan lebih tinggi ke jabatan lebih rendah atau diturunkan menjadi pegawai biasa disebut demosi.

‘’Kek, mengapa ada pegawai kerajaan yang mendapat promosi, ada yang hanya transfer, dan ada yang justru mengalami demosi?’’ tanya si bocah.

‘’Sebenarnya ada aturan yang jelas, termasuk periode atau lamanya seseorang menduduki jabatan tertentu, tetapi aturan itu kemudian hanya disimpan di dalam laci. Raja yang berkuasa beberapa ratus tahun kemudian, dapat mempromosikan, mentransfer, atau mendemosikan seseorang sesuai keinginan dan kepentingannya. Tidak ada lagi aturan yang jelas, bahkan seseorang yang menduduki jabatan tertentu dapat diganti kapan saja, tergantung keinginan raja,’’ tutur sang kakek.

‘’Mengapa bisa begitu kek?’’ tanya si bocah.

‘’Ah, sudahlah, kamu masih terlalu kecil untuk mengerti. Biar kakek jelaskan, kamu belum tentu mengerti,’’ kata sang kakek.***

Keterangan:
- Esai ini dimuat di harian Radar Bulukumba, halaman 3, edisi Selasa, 8 Juni 2010.
- http://www.radarbulukumba.com/


[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog kami.]

04 Juni 2010

Jadilah Wartawan yang Benar


Harian Ujungpandang Ekspres
http://www.ujungpandangekspres.com/view.php?id=48458
Sabtu, 05-06-2010


Jadilah Wartawan yang Benar

Oleh: Asnawin
(Ketua Seksi Pendidikan PWI Sulsel)

Jumlah media massa cetak dan elektronik, serta media online, apalagi kalau dihitung dengan wartawannya dewasa ini mungkin sudah sulit dihitung. Mantan Ketua PWI Pusat, Tarman Azzam pernah mengatakan bahwa jumlah media massa dan jumlah wartawan di Indonesia dewasa ini ''hanya Tuhan yang tahu.''

Perkembangan media massa yang mengikuti kemajuan teknologi informasi dan teknologi komunikasi, juga melaju dengan cepat. Begitu cepatnya, sampai-sampai aturan atau regulasi yang ada pun seolah-olah sudah ketinggalan.

Kode Etik Jurnalistik yang disepakati bersama puluhan organisasi pers pada tahun 2006, serta Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pun tampaknya tidak lagi mampu menampung kebutuhan dan perkembangan yang ada.

Merasa perlu mewadahi dan merangkul media dan ''wartawan model baru'' (jurnalisme warga dan pengelola website / blog di internet), Dewan Pers kemudian memutuskan akan membuat Kode Etik Jurnalistik baru.

Bukan untuk menggantikan kode etik jurnalistik yang sudah disepakati bersama puluhan organisasi pers pada tahun 2006, melainkan guna merangkul atau membuat aturan tersendiri bagi masyarakat yang ingin terlibat atau dilibatkan oleh media massa dalam kegiatan jurnalistik.

''Dewan Pers akan membuat kode etik jurnalistik tersendiri bagi wartawan media online dan mengatur tentang jurnalisme warga (citizen journalism),'' kata Ketua PWI Sulsel, Zulkifli Gani Ottoh, pada pembukaan Pelatihan Dasar Kewartawanan yang diikuti 75 peserta, di Ruang Diklat PWI Sulsel, Jl. AP Pettarani, Makassar, 3 Juni 2010.

Perkembangan dunia jurnalistik dewasa ini melaju cukup kencang. Media online berlari cepat, sehingga banyak pakar yang memprediksi media cetak dan media elektronik (radio dan televisi) akan tertinggal. Prediksi itu tampaknya sudah mulai terlihat kebenarannya. Buktinya, sudah banyak media cetak yang mati alias tidak terbit lagi selamanya atau ''hidup segan mati tak mau.''

''Dengan perkembangan tersebut, kedudukan kita (media cetak dan media elektronik) sekarang ada dimana? Inilah kenyataan yang ada sekarang dan inilah tantangan bagi kita semua,'' kata Zulkifli.

Media cetak yang mampu bertahan dan tetap eksis di era teknologi komunikasi dan era informasi dewasa ini hanyalah yang mampu melakukan berbagai penyesuaian, antara lain dengan melibatkan masyarakat dalam membuat berita. Pelibatan masyarakat itulah yang disebut ''jurnalisme warga'' atau citizen journalism.

Media cetak juga mau tidak mau harus tampil dalam dua versi, yakni versi cetak dan versi online. Bahkan ada beberapa media cetak besar yang mengembangkan sayapnya dengan membuka radio siaran dan televisi.

Media massa mampu menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan yang ada hanyalah media massa yang perusahaannya sehat. Berdasarkan pemikiran itulah, Dewan Pers kemudian mengajak sejumlah pengusaha nasional untuk bersama-sama bertekad melakukan penyehatan perusahaan pers.

''Pada peringatan Hari Pers Nasional, 9 Februari 2010 di Palembang, Dewan Pers berhasil mengajak 18 pengusaha besar nasional menandatangani Piagam Palembang, tentang penyehatan perusahaan pers,'' ungkap Zulkifli.

Piagam Palembang berisi empat hal, yaitu pertama, semua media akan melaksanakan Kode Etik Jurnalistik, kedua, semua media harus tunduk kepada standar pendirian / perusahaan pers, ketiga, standar perlindungan wartawan, serta keempat, standar kompetensi wartawan.

Ketua PWI Sulsel, Zulkifli Gani Ottoh, mengakui bahwa beberapa tahun terakhir banyak media cetak yang terbit musiman atau terbit karena ada yang mendanai untuk kepentingan sesaat, misalnya untuk kepentingan Pemilu atau Pilkada.

Selain itu, ada media cetak yang tidak menyiapkan gaji bagi wartawannya, bahkan sebaliknya wartawanlah yang diperintahkan mencari uang lalu menyetornya kepada pemilik koran.

''Ini 'kan tidak benar, tetapi itu dulu. Mudah-mudahan sekarang tidak ada lagi,'' kata Zulkifli.

Khusus kepada wartawan, Ketua PWI Sulsel menyarankan agar terus menerus meningkatkan kualitasnya dengan banyak membaca, berdiskusi, serta mengikuti pelatihan jurnalistik. Ke depan, katanya, wartawan yang direkrut menjadi anggota PWI harus berijazah minimal Diploma Tiga (D3).

''Jadilah wartawan yang baik dan benar, tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik. PWI memerlukan kader-kader wartawan muda yang cerdas dan kuat mentalnya,'' kata Zulkifli.
Kapak dan Perempuan

Penulis yang dipercaya sebagai ketua panitia pada pelatihan dasar kewartawanan tersebut, juga memberikan motivasi agar rekan-rekan wartawan tidak pernah berhenti belajar, sehingga tidak ketinggalan informasi dan tidak terlindas oleh perubahan yang begitu cepat.

''Saya juga berharap rekan-rekan wartawan tidak mudah tergoda dengan berbagai macam iming-iming dan rayuan dalam melaksanakan tugas jurnalistik,'' kata penulis.
Penulis kemudian menceritakan sebuah anekdot tentang seorang petani yang tinggal di pinggiran hutan dan kerjanya antara lain mencari kayu di hutan dan kemudian menjualnya ke kota.

''Suatu hari, kampak yang menjadi andalan si petani penjual kayu jatuh ke sungai dan celakanya dia tidak bisa berenang. Si petani kemudian meminta bantuan dewa untuk mengambilkan kampaknya,'' ujar penulis memulai cerita.

Dewa kemudian datang membantu dan masuk ke dasar ke sungai. Tak lama kemudian, dewa muncul dan membawa kampak emas, lalu bertanya kepada si petani apakah kampak emas tersebut adalah miliknya.

''Kalau teman-teman wartawan berada pada posisi seperti si petani, apakah anda akan mengakui bahwa kampak emas tersebut adalah milik anda?,'' tanya penulis kepada peserta pelatihan.

Sebagian peserta mengatakan tidak, tetapi ada juga mengatakan iya sambil tersenyum. Penulis kemudian melanjutkan cerita bahwa si petani secara spontan mengatakan kampak tersebut bukan miliknya.

Dewa kemudian turun kembali ke dasar sungai dan muncul ke permukaan dengan membawa kampak perak, tetapi lagi-lagi si petani mengatakan kampak tersebut bukan miliknya.
Dewa sangat kagum atas kejujuran si petani. Tak lama kemudian ia turun ke dasar sungai dan muncul dengan membawa kampak tua milik si petani. Barulah si petani gembira dan mengatakan kampak tua tersebut adalah miliknya.

Sebagai wujud kekagumannya kepada si petani, dewa kemudian turun kembali ke dasar sungai lalu muncul ke permukaan dengan membawa dan menyerahkan kampak emas dan kampak perak sekaligus kepada si petani.

''Suatu hari, si petani bersama isterinya berjalan bersama di tepi sungai. Tanpa sengaja kaki isteri si petani terkilir dan terjatuh ke sungai. Si petani ingin membantu, tetapi ia tidak bisa berenang,'' kata penulis.

Si petani kemudian kembali memohon bantuan kepada dewa. Tak lama datanglah dewa membantu dan langsung turun ke dasar sungai.

''Dewa muncul ke permukaan dengan membopong perempuan muda dan cantik. Kemudian dewa bertanya kepada si petani, apakah perempuan tersebut adalah isterinya. Kalau anda berada pada posisi si petani, apakah anda akan jujur mengakui bahwa perempuan itu bukan isteri anda atau langsung mengatakan iya, itu isteri saya?'' pancing penulis kepada peserta pelatihan.

Semua wartawan tertawa. Ada yang menjawab tidak, tetapi ada juga yang mengatakan iya. Suasana langsung gaduh.

Penulis kemudian melanjutkan bahwa di luar dugaan si petani mengatakan kepada dewa bahwa benar perempuan muda dan cantik itu adalah isterinya yang terjatuh beberapa saat lalu.

''Dewa kemudian mengatakan kepada si petani, kamu ternyata sudah mulai tidak jujur. Si petani membela diri dengan mengatakan bahwa dirinya terpaksa mengakui bahwa perempuan muda dan cantik tersebut adalah isterinya, karena khawatir dewa akan memberikan tiga perempuan sekaligus. Pertanyaan saya, apakah si petani benar-benar jujur atau tidak jujur dengan jawabannya itu?'' tanya penulis kepada peserta pelatihan dasar kewartawanan.

Suasana kembali ramai oleh tawa dan jawaban bervariasi dari para peserta pelatihan. Masih dalam suasana ramai, penulis kemudian menutup pertemuan karena sudah memasuki jadwal Ishoma. ()