31 Mei 2010

Penguasa Kepala Batu



http://www.tribun-timur.com/read/artikel/107979/Penguasa-Kepala-Batu

Penguasa Kepala Batu

Oleh : Asnawin
(Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Satria, Makassar)

Harian TRIBUN TIMUR, Makassar
Senin, 31 Mei 2010

Ada sebuah teori dalam ilmu komunikasi (massa) yang disebut Teori Khalayak Kepala Batu (The Obtinate Audience Theory). Ide awalnya dikemukakan oleh LA Richards pada tahun 1936, tetapi dikembangkan sebagai sebuah ilmu dan teori baru oleh pakar psikologi Raymond Bauer pada tahun 1964.

Teori khalayak kepala batu merupakan koreksi atau kritikan atas Teori Peluru (The Ballet Theory) atau Teori Jarum Hipodermik (Hypordemic Needle Theory) yang berkembang dan mendominasi kajian komunikasi sebelumnya. Kedua teori itu menganggap khalayak (masyarakat) itu pasif.

Raymond Bauer mengeritik asumsi tersebut dan mengatakan khalayak bukan robot yang pasif, serta bukan hanya bersedia mengikuti pesan atau pembicaraan politik yang memberi keuntungan atau memenuhi kepentingan dan kebutuhannya. (Anwar Arifin, 2008 : 89)

Khalayak tersebut terdiri atas individu-individu yang selalu berinterelasi (berhubungan) dan berinteraksi (saling memengaruhi) dengan individu-individu lainnya, dalam suatu wadah yang disebut publik.

Publik atau penerima (audience) itu sama sekali tidak pasif melainkan sangat aktif. Mereka aktif menyaring, menyeleksi, dan mengolah secara internal semua pesan dan pembicaraan yang berasal dari luar dirinya. Ini merupakan proses psikologi yang sangat mendasar.

Publik atau khalayak memiliki daya tangkal dan daya serap terhadap semua terpaan pesan kepada mereka. Pesan yang masuk akan disaring, diseleksi, kemudian diterima atau ditolak melalui filter konseptual.

Daya tangkal inilah yang membuat publik atau khalayak sering juga disebut sebagai "khalayak kepala batu" (the obstinate audience).

Abaikan Aspirasi

Ketika membuat dan memaparkan makalah dalam salah satu perkuliahan pada program pascasarjana Universitas Satria, Makassar, penulis mengatakan, pada kenyataannya, bukan hanya khalayak umum yang memiliki daya tangkal, melainkan juga orang yang tengah berkuasa.

"Penguasa kepala batu", mungkin itulah istilah yang cocok buat para penguasa yang tidak peduli atau mengabaikan pesan, aspirasi, dan opini publik yang berkembang di tengah masyarakat.

Penguasa kerap mengabaikan opini publik yang berasal dari rakyat yang telah memilih dan memberi mereka mandat untuk menjadi pemimpin, padahal dari mandat itulah pemimpin dituntut sesegera mungkin untuk memenuhi kewajibannya: yakni mewujudkan harapan menjadi kenyataan.

Semakin berlama-lama menghadirkan perwujudan harapan, semakin pula menjauhkan kepercayaan pemberi mandat. Dalam kondisi ini, ruang tunggu sejarah tidak menginginkan adanya tumpukan kekecewaan. Sekali saja kekecewaan dimunculkan, sama artinya membuka pintu ketidakpercayaan.

Menurut Kousoulas (1979), opini publik dapat menjadi salah satu faktor politik jika dalam banyak hal ia berpengaruh terhadap proses pengambilan dan pelaksanaan sesuatu keputusan oleh para penyelenggara negara maupun politisi lainnya.

Opini publik merupakan penjelmaan suara rakyat. Mengabaikan opini publik sama artinya memberikan momentum penurunan kepercayaan kepada pemerintah.

Presiden, gubernur,walikota, dan bupati sudah banyak yang merasakan dampak dari sikap mereka yang kerap mengabaikan opini publik.

Duet Presiden SBY dan Wapres Boediono bisa jadi contoh kasus sebagai "penguasa kepala batu". Mereka berdua mengabaikan keinginan rakyat dan opini publik yang menginginkan berbagai perubahan dan mengharapkan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Rakyat menginginkan pelayanan yang baik, fasilitas umum yang memadai dan bisa dinikmati secara merata, pendidikan yang bagus dan terjangkau, penghapusan sistem ujian nasional, pemberantasan korupsi, penegakan hukum, dan lain sebagainya.

Keinginan rakyat dan opini publik tersebut tampaknya tidak langsung direspons oleh duet SBY-Boediono. Mereka mengabaikan opini publik. Mereka berdua menjadi "penguasa kepala batu."

Dengan menjadi "penguasa kepala batu", duet Presiden SBY dan Wapres Boediono kini tidak lagi mendapat kepercayaan besar, bahkan sebaliknya mereka berdua sudah dianggap gagal menjalankan pemerintahan. Dengan kata lain, duet SBY-Boediono dianggap telah gagal melaksanakan amanat atau mandat yang diberikan rakyat Indonesia kepada mereka.

Soekarno-Soeharto

Machiavelli mengatakan, orang yang bijaksana tidak akan mengabaikan opini publik mengenai soal-soal tertentu, misalnya pendistribusian jabatan dan kenaikan jabatan. Dengan kata lain, penguasa yang tidak peduli dan mengabaikan opini publik pastilah bukan orang yang bijaksana.

Kejatuhan Presiden pertama Indonesia, Soekarno, tidak terlepas dari sikapnya yang sering mengabaikan opini publik. Jasanya yang sangat besar sebagai Proklamator Kemerdekaan RI, tidak mampu menahan gejolak kemarahan rakyat atas berbagai kebijakan dan langkah-langkahnya dalam memimpin negara.

Soekarno antara lain dianggap terlalu dekat dengan Partai Komunis Indonesia yang tidak disenangi oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Soekarno juga tidak langsung memenuhi "Tritura" atau tiga tuntutan rakyat yakni bubarkan PKI berserta ormas-ormasnya, perombakan kabinet Dwikora, serta turunkan harga dan perbaiki sandang-pangan.

Presiden kedua Indonesia, Soeharto juga terlalu lama mengabaikan opini publik. Pendapat umum atau opini publik yang berkembang yaitu dirinya terlalu lama berkuasa (lebih dari 30 tahun) sehingga sudah perlu diganti, bahwa rakyat Indonesia membutuhkan pemimpin baru yang lebih muda dan energik, bahwa pola pikir dan pola kepemimpinannya sudah ketinggalan zaman di era modern.

Akibat pengabaian opini publik tersebut, rakyat Indonesia kecewa dan kekecewaan itu terus-menerus menumpuk. Rakyat Indonesia kemudian marah dan melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran menuntut Soeharto mengundurkan diri dan meletakkan jabatannya sebagai Presiden RI. Karena kuatnya desakan tersebut, Soehato akhirnya mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 atau sehari sesudah peringatan Hari Kebangkitan Nasional.

Masyarakat Indonesia kemudian menetapkan 21 Mei sebagai Hari Reformasi Nasional. Pengunduran atau kejatuhan Soeharto sekaligus mengawali era baru pemerintahan dan kehidupan demokrasi di Indonesia, yakni Era Reformasi.

Dengan berkaca pada dampak dari pengabaian opini publik oleh tiga Presiden RI, serta demi tegaknya demokrasi, kita berharap kepada para pengambil kebijakan, khususnya orang yang tengah mendapat mandat dari rakyat untuk menjadi pemimpin, agar kiranya tidak mengabaikan opini publik, serta berupaya menjalin komunikasi yang baik dan positif dengan rakyat yang dipimpin dan yang telah memilihnya sebagai pemimpin.***

17 Mei 2010

Banyak Kebudayaan Pinjaman di Sulsel



http://www.ujungpandangekspres.com/view.php?id=47226
Harian Ujungpandang Ekspres, Makassar
Selasa, 18-05-2010

Banyak Kebudayaan Pinjaman di Sulsel

Oleh: Asnawin
Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Satria Makassar

Masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) memiliki banyak kebudayaan dan kearifan lokal, tetapi sebagian masyarakat dan sejumlah orang yang tengah berkuasa, lebih senang ‘’memakai baju’’ kebudayaan pinjaman dan ‘’melepas baju’’ kebudayaan atau kearifan lokal. Itu terjadi karena adanya komunikasi antar-budaya dan lemahnya pertahanan budaya masyarakat Sulsel.

Komunikasi antar-budaya secara langsung maupun secara tidak langsung telah ‘’membuka mata’’ orang Sulsel bahwa ada budaya lain yang berbeda dengan budaya asli mereka. Ada yang terbelalak matanya, ada yang silau, ada yang menyipitkan matanya, dan ada yang menutup mata.

Kemajuan teknologi (terutama teknologi komunikasi), derasnya arus informasi, bertambahnya orang kaya yang mampu ‘’jalan-jalan’’ ke kota, provinsi, dan atau ke negara lain, serta banyaknya orang asing yang berkunjung ke daerah kita, secara tidak langsung telah mengakibatkan terjadinya kontak atau komunikasi antar-budaya.

Kontak dengan kebudayaan lain dapat mengakibatkan perubahan atas satu kebudayaan atau bahkan dua kebudayaan sekaligus. Pada awal kontak antar-budaya, terjadi proses peniruan karakteristik dari isi suatu unsur kebudayaan tertentu. Setelah proses peniruan itu dipakai berulang-ulang dan dibiasakan dalam suatu komunitas tertentu, maka kebudayaan yang sebelumnya hanya merupakan pinjaman, berubah menjadi kebudayaan setempat.

Dalam kebudayaan, proses pinjaman kebudayaan berbeda dengan akulturasi. Akulturasi adalah proses pertemuan unsur-unsur dari berbagai kebudayaan yang berbeda, yang diikuti dengan percampuran unsur-unsur tersebut.

Syarat akulturasi adalah harus didahului oleh kontak, tetapi dalam kebudayaan pinjaman tidak selalu atau bahkan tidak didahului dengan kontak. Sebagian masyarakat Sulsel tidak kontak dengan kebudayaan Amerika, tidak pernah pergi ke Negeri Paman Sam, tetapi banyak di antara mereka yang suka makan ayam goreng di McDonald, California Fried Chicken, dan atau Kentucky Fried Chicken.

Sebelum berbicara lebih jauh tentang kebudayaan pinjaman di Sulawesi Selatan, ada baiknya terlebih dahulu kita memiliki pemahaman yang sama tentang budaya dan kebudayaan.

Kebudayaan berasal dari kata budaya yang memiliki banyak arti, antara lain adat istiadat, sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju, dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah).

Secara etimologis, budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Budaya kemudian diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.

Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin, colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai kultur dalam bahasa Indonesia.

Berdasarkan pengertian kata dasarnya itu, maka kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Kebudayaan juga diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.

Edward Burnett Tylor dalam bukunya ‘’Primitive Culture’’ mengatakan, kebudayaan adalah kompleks dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat, serta setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat.

Kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat merupakan kekuatan abstrak yang mampu memaksa dan mengarahkan pendukungnya untuk berperilaku sesuai dengan sistem pengetahuan, gagasan, dan kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat.

Kebudayaan lokal Sulawesi Selatan adalah kebudayaan yang dimiliki masyarakat Sulsel berupa kebiasaan-kebiasaan secara turun-temurun dalam berperilaku, berbuat, dan melakukan sesuatu dalam kehidupan sehari-hari.

Kebudayaan Lokal


Dalam berbagai literatur, dari berbagai hasil diskusi, serta berdasarkan pengalaman pribadi sebagai orang yang lahir dan dibesarkan dalam kebudayaan lokal Sulsel, penulis dapat menyebutkan beberapa kebudayaan asli dan kearifan lokal masyarakat Sulsel.

Beberapa puluh tahun silam, perempuan Sulsel (khususnya Bugis-Makassar) jarang sekali keluar rumah. Kalau mereka keluar rumah, maka kita dengan mudah akan mengenali dan mengidentifikasi mereka sebagai perempuan, terutama dari rambut dan pakaiannya (feminim). Mereka juga lebih banyak tersenyum dan hanya sekali-sekali berbicara tetapi itupun dengan ‘’volume kecil.’’

Sekarang, perempuan Sulsel ‘’berkeliaran’’ di mana-mana dan tak jarang penampilan mereka tidak ada bedanya dengan laki-laki. Kalau berbicara, volume suara mereka kadang-kadang lebih besar dibanding volume suara laki-laki.

Orang Sulsel juga sangat gemar bergotong-royong (abbulo sibatang/mabbulo sibatang). Memindahkan atau membangun rumah pun sering dilakukan secara gotong-royong. Semuanya dilakukan secara sukarela, senang hati, bahkan dalam suasana ceria. Sekarang, gotong-royong sudah merupakan barang langka dan mahal harganya.

Jika ada di antara tetangga atau keluarga yang mengalami kesulitan, sedang susah, atau perlu dibantu, maka orang-orang akan segera memberikan bantuan secara sukarela, karena orang Sulsel punya budaya kesetiakawanan sosial (pesse/pacce), serta saling tolong-menolong (mali siparappe, rebba sipatokkong).

Dalam pergaulan sehari-hari, orang Sulsel sangat menjaga tata krama (ada’/ade’), tetapi sekarang sudah banyak orang Sulsel yang seolah-olah tidak mengenal ada’ atau ade’, baik dalam pergaulan dengan orang lain, maupun pergaulan dengan orang yang lebih tua atau bahkan dengan orangtua kandung.

Dulu, pemimpin dipilih berdasarkan kapasitas dan dedikasi. Pemimpin zaman dulu juga sangat dihormati, disegani, bahkan kadang-kadang ditakuti, karena mereka berani dan bertanggung-jawab (warani/barani), memiliki keyakinan yang teguh (getteng), serta menjaga harga diri (siri’), sehingga mereka punya kharisma dan kewibawaan. Sekarang pemimpin (penguasa) dipilih karena ‘’isi tas’’ dan prestasi semu, tetapi tidak banyak di antara mereka yang dihormati, disegani, apalagi ditakuti.

Kebudayaan Pinjaman


Kini kebudayaan dan kearifan lokal sudah banyak yang terlupakan dan diganti dengan kebudayaan pinjaman.

Beberapa kebudayaan pinjaman itu antara lain cara berpakaian yang tidak lagi feminim di kalangan perempuan, cium pipi kanan – cium pipi kiri (cipika-cipiki) setiap bertemu, anak menyapa orangtua dengan tanpa rasa hormat, dan murid menelepon guru tanpa rasa segan.

Selain itu, banyak orang yang lebih senang mengungkapkan kekecewaan dan atau kemarahan secara frontal (aksi unjukrasa, dsb), serta banyak ditemui remaja atau orang dewasa lain jenis kelamin dan bukan suami-isteri berdua-duaan dan bermesraan di tempat umum .

Kita juga sering membiarkan orang lain (keluarga, sahabat, tetangga, rekan kerja) berbuat hal-hal yang kurang bagus, serta lebih mendahulukan berbagai macam kesibukan dibanding bersosialisasi dan berkomunikasi dengan tetangga.

Kebudayaan pinjaman lain yaitu menghabiskan malam di tempat hiburan malam (THM), menyanyikan lagu-lagu keras dengan syair bahasa asing, serta membangun rumah dengan meniru gaya arsitektur Barat.

Masih banyak lagi kebudayaan pinjaman yang akhirnya seolah-olah sudah menjadi kebudayaan setempat masyarakat Sulsel.

Budaya korupsi juga mungkin masuk kategori kebudayaan pinjaman, karena sampai saat ini penulis belum menemukan literatur yang menyatakan bahwa orang Sulsel zaman dulu suka korupsi.

Sebagai ‘’produk’’ orang Sulsel tahun enampuluhan, penulis sangat merindukan tampilnya kembali kebudayaan lokal dan kearifan lokal sebagai ‘’tuan rumah’’ di Sulsel. Masih bisakah itu diwujudkan? (***)