08 Desember 2010

Fenomena Ilham dan Syahrul di Sulsel



Ada dua nama yang cukup fenomenal di Sulawesi Selatan pada tahun 2010, yaitu Ilham Arief Sirajuddin dan Syahrul Yasin Limpo. Keduanya begitu populer pada tahun 2010. Mereka berdua adalah newsmaker, pembuat berita. Hampir tiada hari tanpa berita tentang Ilham dan Syahrul pada koran-koran harian di Sulawesi Selatan sepanjang tahun 2010.


27 Oktober 2010

Pendidikan dan Kesehatan Gratis di Sulsel





Banyak wartawan yang belum paham tentang program pendidikan dan kesehatan gratis. Wartawan yang memiliki pengetahuan justru curiga atau menuding program tersebut tidak berjalan dengan baik. Berdasarkan pengalaman beberapa wartawan, terutama yang anak-anaknya sekolah di SD dan atau SLTP, program pendidikan gratis tidaklah terlalu dirasakan, karena kenyataannya tetap banyak pungutan di sekolah.

Serba-serbi Safari Jurnalistik PWI-Pemprov Sulsel



SAFARI JURNALISTIK. Ketua PWI Sulsel Zulkifli Gani Ottoh (kedua dari kiri) foto bersama beberapa wartawan dalam rangkaian kunjungan Safari Jurnalistik PWI Sulsel-Pemprov Sulsel, pada beberapa kabupaten dan kota se-Sulawesi Selatan, 6-10 Oktober 2010. (ist)

20 Oktober 2010

Catatan Atas Program Pendidikan dan Kesehatan Gratis di Sulsel



Terlepas dari berbagai kekurangan atau kontroversi yang berkembang mengenai program pendidikan dan kesehatan gratis di Sulsel, kita harus memberi apresiasi positif kepada Pemprov Sulsel, serta seluruh pemerintah kabupaten dan kota di daerah ini atas dilaksanakannya program pendidikan dan kesehatan gratis tersebut.

10 Agustus 2010

Keterbukaan Informasi Publik dan PPID


Di era keterbukaan informasi dan kebebasan pers dewasa ini, semua informasi seolah-olah bebas dibuka dan disampaikan kepada publik, termasuk rekening pribadi pejabat publik dan video koleksi pribadi sepasang kekasih atau sepasang suami isteri.
Apa boleh buat, kita sekarang sudah berada di era keterbukaan informasi dan kebebasan pers. Media massa begitu bebas ‘’melempari’’ kita beragam informasi dan hiburan. -- Asnawin --

07 Agustus 2010

Pejabat Arogan


Fulan benar-benar beruntung, karena sejak kecil ia tak pernah mengalami kesulitan ekonomi, bahkan boleh dikata ia selalu hidup berlebihan. Ia juga pandai membentuk opini publik sebagai pejabat yang bersih, menarik, dan disenangi.
Tak banyak yang tahu bahwa ia kerap bersikap arogan kepada bawahannya. Tak banyak yang tahu bahwa ia sering memandang enteng orang lain.

28 Juli 2010

Gaya Berkomunikasi di Tengah Konflik


Apa yang membedakan antara orang hebat dengan orang biasa. Bedanya adalah orang hebat itu selalu bertindak, berani berbuat, berani mencoba, berani bertarung, serta berani menanggung risiko, sedangkan orang biasa tidak memiliki keberanian itu.

Orang biasa hanya memiliki keinginan, tetapi tidak berani bertindak. Mereka hanya bermimpi (di siang bolong) dan senang berandai-andai.

13 Juli 2010

Informasi Publik Harus Dibuka



Informasi Publik Harus Dibuka

Oleh : Asnawin
(Humas Kopertis Wilayah IX Sulawesi)

Dulu, semua informasi tertutup, kecuali yang dibuka. Sekarang, semua informasi terbuka, kecuali yang ditutup. Dulu, jangankan informasi pribadi, informasi publik pun banyak yang sengaja ditutup. Sekarang, jangankan informasi publik, informasi pribadi pun banyak yang sengaja dibuka.

Di era keterbukaan informasi dan kebebasan pers dewasa ini, semua informasi seolah-olah bebas dibuka dan disampaikan kepada publik, termasuk rekening pribadi pejabat publik dan video koleksi pribadi sepasang kekasih atau sepasang suami isteri.

Para pejabat publik dan selebritis kini tidak lagi bebas menyimpan rahasia, apalagi bersembunyi dari ’’pandangan mata’’ wartawan dan orang-orang di sekelilingnya, apalagi dari orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu atau akan mendapatkan keuntungan jika informasi rahasia dan borok para pejabat publik dan selebritis tersebut dibuka kepada publik.

Kita mungkin tak bisa lagi menghindar dari kenyataan seperti itu. Mungkin itulah antara lain ’’buah’’ dari era reformasi, era keterbukaan, era globalisasi, serta era informasi dan komunikasi.

’’Buah’’ tersebut juga jatuh dan menimpa badan publik yakni lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara.

Badan publik yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), kini tidak bisa lagi bebas ’’menyembunyikan’’ informasi.

Malah sebaliknya, badan publik-termasuk organisasi nonpemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan atau APBD, sumbangan masyarakat, dan atau luar negeri-harus membuka informasi publik kepada masyarakat, terutama bila ada yang meminta.

Jika ada badan publik yang dengan sengaja menyembunyikan atau tidak menyediakan informasi secara terbuka, maka badan publik tersebut bisa dituntut. Begitulah tuntutan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang mulai berlaku sejak April 2010.

Instansi pemerintah, kepolisian, militer, kejaksaan, pengadilan, partai politik, BUMN, lembaga pendidikan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), yayasan, dan organisasi lain yang anggaran atau dananya berasal dari APBN/APBD atau sumbangan masyarakat, harus menyiapkan diri menghadapi UU KIP.

UU KIP mewajibkan semua badan publik tersebut menyediakan informasi publik secara transparan. Di antara informasi publik yang harus dibuka secara transparan adalah semua rencana kebijakan publik, penggunaan keuangan, dan kegiatan yang dilakukan badan publik.

Meskipun demikian, tetap ada yang dikecualikan, yaitu informasi yang dirahasiakan dan hanya boleh diminta dengan beberapa persyaratan.

Pertanyaannya, manakah yang tergolong informasi publik yang harus tersedia dan terbuka untuk umum?

Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan atau badan publik lainnya yang sesuai dengan UU KIP, serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Di sinilah bedanya antara informasi biasa dan informasi pribadi dengan informasi publik. Kalau tidak menyangkut badan publik dan tidak berkaitan dengan kepentingan publik, maka informasi tersebut tidak termasuk informasi publik.

Tetapi badan publik tidak perlu mempersoalkan hal tersebut, karena bagaimana pun juga UU KIP sudah lahir dan diberlakukan, sehingga sudah menjadi kewajiban bagi badan publik untuk menyiapkan informasi publik dan informasi publik harus dibuka.

Pejabat PID

Apakah semua badan publik sudah menyiapkan informasi publik yang di lingkungannya masing-masing? Apakah semua badan publik sudah memiliki pejabat atau bagian khusus yang menangani informasi dan dokumentasi? Apakah orang-orang yang ditunjuk menangani informasi publik dan dokumentasi memiliki pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan di bidang tersebut?

Inilah salah satu masalah krusial yang dihadapi badan publik. Bisa dipastikan bahwa belum semua badan publik memiliki atau telah menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang bertanggungjawab di bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan atau pelayanan informasi.

Kalau belum ada pejabat atau tenaga ahli yang memiliki kemampuan dalam hal penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan atau pelayanan informasi kepada publik, bagaimana mungkin informasi itu dapat disebarluaskan atau dirahasiakan dengan baik.

Kita berharap anggota Komisi Informasi benar-benar memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam bidang informasi publik. Badan Publik di berbagai instansi/lembaga lainnya pun harus mempersiapkan dan merekrut PPID yang kompeten di bidangnya dalam menjalankan aktivitas pengelolaan dan pelayanan informasi kepada publik.

PPID tidak harus berlatar-belakang pendidikan formal ilmu komunikasi, karena yang lebih penting adalah menguasai bidang pengelolaan informasi dan dokumentasi atau keterampilan dalam hal mengumpulkan, mengolah, mengorganisir, menyimpan, menyebarluaskan atau diseminasi, dan memberikan pelayanan informasi secara profesional.

Pimpinan instansi, lembaga, atau badan publik tidak boleh salah memilih orang dalam merekrut pejabat dari bidang lain yang sama sekali tidak memiliki kompetensi dalam bidang informasi dan dokumentasi. Juga tidak boleh hanya memindahkan staf dari bidang lain menjadi PPID, karena itu bukanlah langkah yang tepat.

Selain itu, masih banyak yang harus diperhatikan oleh badan publik dalam menyongsong pemberlakuan UU KIP, antara lain menyiapkan sistem manajemen informasi publik yang terorganisasi dan menyiapkan anggaran komunikasi publik.

Sistem manajemen informasi dan pengelolaannta tentu membutuhkan anggaran khusus, apalagi UU KIP ’’memerintahkan’’ badan publik menyediakan informasi publik secara berkala minimal dua kali dalam setahun.

Badan publik juga wajib menyampaikan informasi secara berkala melalui media massa (internal dan eksternal), menyampaikan informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak, serta menyampaikan kepada khalayak ramai informasi setiap saat melalui situs website.
Masyarakat menginginkan kemudahan dalam mengakses informasi publik dan UU KIP juga menegaskan hal tersebut. Masyarakat dan UU KIP menuntut informasi publik harus dibuka, maka badan publik harus memilih PPID yang profesional yang harus siap memenuhi tuntutan tersebut.

Keterangan:
- Artikel / Opini ini dimuat di harian Ujngpandang Ekspres, halaman 12, edisi Rabu, 14 Juli 2010.

06 Juli 2010

Humas, UU KIP, dan Bahasa



Humas, UU KIP, dan Bahasa

Oleh: Asnawin
(Humas Kopertis Wilayah IX Sulawesi)

Humas menyiapkan ‘’mental’’ institusi untuk memahami kepentingan publik, serta mengevaluasi perilaku publik dan institusi untuk direkomendasikan kepada pimpinan. Kata lainnya, humas menyiapkan prakondisi untuk mencapai saling pengertian, saling percaya, dan saling bantu terhadap tujuan-tujuan publik institusi yang diwakilinya.


Humas itu sebenarnya tergolong makhluk aneh. Bentuknya dapat berubah-ubah, tergantung bagaimana sebuah instansi memosisikannya. Ada humas struktural (divisi, bagian, atau sub bagian), ada pula humas fungsional (tidak ada dalam struktur). Tugas, fungsi, dan peranannya sama, tetapi perlakuan kepada mereka kadang-kadang berbeda.

Banyak sekali fungsi humas, tetapi ada dua fungsi pokoknya, yaitu fungsi konstruktif (perata jalan) dan fungsi korektif (pemadam kebakaran). Sebagai ‘’perata jalan’’, humas merupakan garda terdepan. Di belakangnya, ada ‘’rombongan’’ tujuan-tujuan institusi atau lembaga.

Fungsi konstruktif mendorong humas membuat aktivitas atau kegiatan terencana dan berkesinambungan. Dengan kata lain, humas bertindak preventif (mencegah).

Kalau ‘’api’’ sudah terlanjur menjalar dan ‘’membakar’’ institusi, maka humas harus memadamkan api tersebut. Maksudnya, jika terjadi krisis atau masalah dengan publik, maka humas harus proaktif mengatasinya (kuratif).

Sering terjadi, humas dipanggil dan dibutuhkan kehadirannya pada saat ada masalah atau krisis, tetapi dalam kondisi ‘’aman-aman saja’’, humas seolah-olah tidak dibutuhkan. Tidak ada bedanya dengan petugas pemadam kebakaran. Humas juga kerap disalahkan jika terjadi masalah atau krisis yang berkaitan dengan publik.

Menghadapi penerapan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) sejak 1 Mei 2010, humas pemerintahan dan humas lembaga-lembaga publik lainnya, pasti dituntut menjalankan kedua fungsi tersebut.

Humas pasti diharapkan ‘’meratakan jalan’’ dan menghindarkan terjadinya ‘’kebakaran’’. Artinya, humas harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat atau publik sebagai bentuk pertanggungjawaban atas segala tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada institusi, serta menyiapkan segala informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Pasal 13 UU KIP menekankan bahwa untuk mewujudkan pelayanan cepat, tepat, dan sederhana, maka setiap Badan Publik harus menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi, yang dibantu oleh pejabat fungsional.

Pejabat fungsional inilah yang biasa disebut humas. Pada sebagian besar instansi, apalagi instansi yang dibawahi oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten, seperti Dinas atau Badan, humas bukan jabatan struktural, melainkan hanya fungsional. Artinya, hanya difungsikan sebagai humas, tetapi tidak ada dalam struktur instansi atau kepegawaian.

Inilah kendala umum yang dialami para humas. Di satu sisi, mereka diberi tugas dan tanggung-jawab yang cukup besar, mulai dari menyediakan informasi publik, memberikan informasi kepada masyarakat luas tentang kegiatan instansi, hingga menciptakan citra positif instansi dan ”menangkis” berbagai ”serangan” informasi yang dapat merusak citra instansi.

Di sisi lain, humas tidak diberi kewenangan yang proporsional dan seringkali tidak dipenuhi kebutuhan-kebutuhannya dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Sekadar mengingatkan, humas atau hubungan masyarakat diadopsi dari bahasa Inggris, yakni public relations. Public relations (PR) adalah praktek mengelola komunikasi antara organisasi dengan publik atau masyarakatnya.

Dari pengertian tersebut, maka humas dapat diartikan sebagai seni berkomunikasi atau seni menciptakan pengertian publik yang lebih baik, sehingga dapat memperdalam kepercayaan masyarakat terhadap organisasi.

Dengan demikian, orang yang ditempatkan atau menempati posisi sebagai humas dalam sebuah instansi pemerintahan atau badan publik, harus memiliki jiwa seni dalam melaksanakan tugasnya. Tanpa jiwa seni itu, maka pejabat atau staf humas dapat mengalami stres dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, apalagi jika posisi humas hanya fungsional dengan tanggung jawab besar tanpa diimbangi fasilitas dan dana yang memadai.

UU KIP

Tidak perlu ada yang dikhawatirkan oleh para humas dengan terbit dan berlakunya UU KIP, apalagi jika para humas sudah menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Humas tidak perlu menghafal mati seluruh 13 bab dan 64 pasal dalam UU KIP, karena hanya sebagian yang berkait langsung dengan tugas dan fungsi humas.

Pasal-pasal yang perlu dibaca, didiskusikan, dan dipahami oleh para humas dalam undang-undang tersebut, antara lain pasal 7 ayat (4), tentang kewajiban membuat pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap orang atas Informasi Publik. Informasi publik dimaksud tentu saja yang benar adanya dan tidak menyesatkan.

Humas juga perlu membaca dan memahami BAB IV tentang informasi yang wajib disediakan dan diumumkan, yakni informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala, informasi yang wajib diumumkan secara serta-merta, serta informasi yang wajib tersedia setiap saat.

Setiap tahun, humas juga wajib mengumumkan layanan informasi yang meliputi jumlah permintaan informasi yang diterima, waktu yang diperlukan Badan Publik dalam memenuhi setiap permintaan informasi, jumlah pemberian dan penolakan permintaan informasi, dan atau alasan penolakan permintaan informasi (pasal 12).

Humas dapat menolak memberikan informasi yang dikecualikan, karena hal tersebut diatur dalam Bab IV tentang informasi yang dikecualikan, khususnya pasal 17. Namun pasal 19 mengingatkan para humas agar melakukan pengujian dengan saksama dan penuh ketelitian sebelum menyatakan informasi publik tertentu yang dikecualikan untuk diakses oleh setiap orang.

Pastilah tidak semua informasi publik dapat begitu saja diberikan kepada setiap orang atau setiap pemohon, karena ada mekanisme yang mengaturnya, yaitu pada Bab VI tentang mekanisme memperoleh informasi.

Bahasa

Sebelum mengakhiri tulisan ini, penulis ingin mengingkatkan satu hal tentang pentingnya pengetahuan dan pemahaman bahasa bagi para humas.

Penulis yakin sudah banyak pejabat dan staf humas yang menguasai teknologi informasi dan komunikasi, sudah banyak yang mengelola media internal (buletin, tabloid, majalah, radio, website, blog), serta mahir membuat berita untuk media internal atau untuk siaran pers (press release).

Penulis juga yakin sudah banyak pejabat dan staf humas yang telah mengikuti pelatihan jurnalistik dan mungkin sering mengikuti kegiatan yang diadakan Bakohumas.

Meskipun demikian, penulis merasa perlu mengingatkan kepada rekan-rekan sesama pejabat atau staf humas tentang pentingnya mempelajari penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai ejaan yang disempurnakan, karena Informasi Publik harus disampaikan dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan dalam bahasa yang mudah dipahami.

Keterangan: Artikel ini dimuat pada halaman 4 (Opini) harian Fajar, Makassar, Rabu, 7 Juli 2010 (http://www.fajar.co.id/koran/1278438416FAJAR.UTM_7_4.pdf)

14 Juni 2010

Pemimpi(n)



Esai

Pemimpi(n)

Oleh Asnawin

Raja Negeri Antah-berantah sedang gundah-gulana. Hatinya gundah karena banyak hal. Mulai dari urusan penerus tahta kerajaan, soal pemerintahan, sampai kepada soal-soal kerakyatan.

Usianya sudah sangat sepuh, tetapi ia belum bisa menentukan siapa di antara enam putranya yang paling pantas menjadi raja.

Selain soal tahta kerajaan, Sang Raja juga gundah karena banyak masalah yang perlu diatasi dalam pemerintahan. Ada kasus bank sentral kerajaan, dan ada permintaan dana aspirasi yang jumlahnya cukup besar dari beberapa anggota parlemen kerajaan.

Rakyat juga sudah mulai berani melakukan aksi protes atas beberapa kebijakan kerajaan. Raja pun gundah dengan beredarnya di tengah masyarakat lukisan adegan porno yang mirip seorang penyanyi terkenal bersama seorang pemain teater terkenal di Negeri Antah-berantah.

Untunglah saat itu tengah berlangsung kejuaraan sepakbola antar-negeri selama sebulan penuh di negeri tetangga, sehingga perhatian sebagian rakyat tidak lagi terfokus kepada masalah pemilihan calon raja baru dan berbagai masalah lainnya.

Raja benar-benar masygul. Ia sudah berkali-kali berbicara dengan permaisuri dan penasehat kerajaan, tetapi dirinya belum bisa memilih satu di antara enam putranya untuk menjadi raja. Ketika ia mengumpulkan keenam putranya dan membahas siapa di antara mereka yang dianggap paling pantas menjadi raja, ternyata mereka semua merasa pantas.

Putra pertama dan putra kedua yang sudah berusia lebih dari 60 tahun mengaku pantas menjadi raja, karena telah berpengalaman sebagai menteri kerajaan.

Putra ketiga juga merasa pantas menjadi raja, karena dirinya punya pengalaman dan sukses dalam bidang perdagangan, punya banyak uang, serta kini juga tengah menjabat sebagai raja salah satu Anak Negeri.

Putra keempat tak mau kalah. Ia merasa pantas menjadi raja, karena dirinya adalah salah seorang hulubalang senior dan rakyat butuh pemimpin yang mampu memberikan rasa aman seperti dirinya.

Putra kelima yang juga punya pengalaman dalam bidang perdagangan dan pernah mengetuai parlemen kerajaan, pun merasa pantas menjadi raja.

Si bungsu yang kini masih duduk dalam parlemen kerajaan, juga tak mau ketinggalan. Ia merasa pantas menjadi raja karena sudah dua periode duduk dalam parlemen kerajaan dan pernah menjabat kepala adat pada salah satu Anak Negeri.

Karena belum bisa memilih, raja kemudian diam-diam mendatangi seorang pemuka agama untuk meminta masukan.

‘’Maaf Yang Mulia Raja, ini hanya sekadar saran. Kalau ada di antara mereka yang tidak terlalu berambisi, yang paling dapat dipercaya, yang paling jujur, yang paling cerdas, yang paling bijaksana, yang paling bagus komunikasinya, serta yang paling dekat dengan rakyat, maka itulah yang paling pantas menjadi raja,’’ kata sang pemuka agama.

Jawaban tersebut membuat raja makin gundah. Ia kemudian memanggil dan meminta masukan dari beberapa seniman dan budayawan.

Salah seorang seniman mengusulkan agar raja memilih satu di antara enam putra mahkota yang benar-benar berjiwa pemimpin, yaitu mereka yang mampu menuntun, membimbing, memandu, melatih, dan mendidik orang yang dipimpinnya.

Budayawan lain mengatakan; ‘’Benar Yang Mulia Raja, pilihlah yang berjiwa pemimpin, bukan pemimpi atau tukang mimpi, karena pemimpi itu hanya bisa berkhayal, berangan-angan, dan bermimpi tentang sesuatu yang muluk-muluk, tetapi ia tidak pernah melakukan upaya yang benar, serta tidak punya pengalaman dan kemampuan untuk mewujudkan mimpinya.’’

Raja tetap masygul dan gundah-gulana. Ia masih belum bisa memilih satu di antara enam putranya untuk menggantikannya sebagai Raja Negeri Antah-berantah. Ia berharap dapat menjatuhkan pilihan yang tepat, agar kerajaan dapat memberikan kesejahteraan, kedamaian, keamanan, dan ketenangan bagi rakyat banyak. ***

keterangan:
- Esai ini dimuat oleh harian Radar Bulukumba, halaman 3, Senin, 14 Juni 2010
- http://www.radarbulukumba.com/

10 Juni 2010

Mutasi



Esai

Mutasi

Oleh Asnawin

Seorang bocah bertanya kepada kakeknya. Ia bertanya tentang arti kata mutasi, sebuah kata yang sering didengarnya akhir-akhir ini. Sang kakek tersenyum lalu menceritakan sebuah dongeng. Pria tua berusia sekitar 70 tahun itu mengatakan bahwa mutasi sebenarnya adalah julukan kepada ‘’tiga bersaudara’’. Mereka tinggal di sebuah negeri bernama Antah-berantah.

Ketika si bocah bertanya dimana itu Negeri Antah-berantah, sang kakek mengatakan; ‘’Namanya juga Antah-berantah, tidak ada seorang pun yang tahu tempatnya.’’

Sang kakek kemudian melanjutkan ceritanya bahwa anak pertama alias si sulung bernama Promosi. Badannya besar dan kuat, tetapi sangat lincah dan selalu mampu melompat ke tempat yang lebih tinggi.

Anak kedua atau saudara tengah bernama Transfer. Badannya juga cukup besar, tetapi ia tak mampu melompat ke tempat yang lebih tinggi. Ia hanya bisa melompat dari satu tempat ke tempat lain yang sama tingginya.

Si bungsu bernama Demosi. Berbeda dibanding kedua kakaknya, Demosi tergolong kurus dan badannya agak lemah. Ia jarang sekali melompat. Kalau pun melompat, ia hanya mampu melompat ke tempat yang lebih rendah. Demosi sama sekali tak mampu melompat ke tempat yang sama tinggi, apalagi ke tempat yang lebih tinggi.

Dari ‘’tiga bersaudara’’ itu, si Promosi-lah yang sangat menonjol, sehingga ia cukup terkenal dan selalu mendapat pujian di Negeri Antah-berantah. Saudara kedua, si Transfer, sama sekali tidak terkenal. Si bungsu, Demosi, bahkan lebih terkenal dibanding Transfer, tetapi ketenarannya lebih karena ia tak memiliki kemampuan melompat ke tempat yang sama tinggi apalagi ke tempat yang lebih tinggi.

Karena selalu jalan bertiga dan warga Negeri Antah-berantah malas menyebut nama mereka satu per satu, maka nama mereka disingkat menjadi Motasi yang merupakan singkatan dari Promosi, Transfer, dan Demosi. Namun karena singkatan tersebut dianggap kurang bagus, maka warga Negeri Antah-berantah kemudian menggantinya dengan julukan Mutasi.

‘’Saking termasyhurnya julukan mereka, maka Kerajaan Negeri Antah-berantah kemudian memakainya sebagai istilah dalam urusan penempatan seseorang dalam jabatan tertentu di kerajaan,’’ kata sang kakek.

‘’Hebat sekali ya kek,’’ potong si bocah.

‘’Ya,’’ kata sang kakek.

Ia kemudian menjelaskan bahwa kerajaan memakai istilah mutasi pada setiap ada perubahan komposisi pegawai kerajaan. Selanjutnya, kerajaan menggunakan istilah promosi untuk mengangkat seseorang pegawai biasa menduduki sebuah jabatan tertentu atau menempatkan seseorang pegawai kerajaan dari jabatan lebih rendah ke jabatan yang lebih tinggi.

Perpindahan pegawai kerajaan dari satu jabatan ke jabatan lain yang sama tinggi atau selevel disebut transfer, sedangkan pejabat yang diturunkan dari jabatan lebih tinggi ke jabatan lebih rendah atau diturunkan menjadi pegawai biasa disebut demosi.

‘’Kek, mengapa ada pegawai kerajaan yang mendapat promosi, ada yang hanya transfer, dan ada yang justru mengalami demosi?’’ tanya si bocah.

‘’Sebenarnya ada aturan yang jelas, termasuk periode atau lamanya seseorang menduduki jabatan tertentu, tetapi aturan itu kemudian hanya disimpan di dalam laci. Raja yang berkuasa beberapa ratus tahun kemudian, dapat mempromosikan, mentransfer, atau mendemosikan seseorang sesuai keinginan dan kepentingannya. Tidak ada lagi aturan yang jelas, bahkan seseorang yang menduduki jabatan tertentu dapat diganti kapan saja, tergantung keinginan raja,’’ tutur sang kakek.

‘’Mengapa bisa begitu kek?’’ tanya si bocah.

‘’Ah, sudahlah, kamu masih terlalu kecil untuk mengerti. Biar kakek jelaskan, kamu belum tentu mengerti,’’ kata sang kakek.***

Keterangan:
- Esai ini dimuat di harian Radar Bulukumba, halaman 3, edisi Selasa, 8 Juni 2010.
- http://www.radarbulukumba.com/


[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog kami.]

04 Juni 2010

Jadilah Wartawan yang Benar


Harian Ujungpandang Ekspres
http://www.ujungpandangekspres.com/view.php?id=48458
Sabtu, 05-06-2010


Jadilah Wartawan yang Benar

Oleh: Asnawin
(Ketua Seksi Pendidikan PWI Sulsel)

Jumlah media massa cetak dan elektronik, serta media online, apalagi kalau dihitung dengan wartawannya dewasa ini mungkin sudah sulit dihitung. Mantan Ketua PWI Pusat, Tarman Azzam pernah mengatakan bahwa jumlah media massa dan jumlah wartawan di Indonesia dewasa ini ''hanya Tuhan yang tahu.''

Perkembangan media massa yang mengikuti kemajuan teknologi informasi dan teknologi komunikasi, juga melaju dengan cepat. Begitu cepatnya, sampai-sampai aturan atau regulasi yang ada pun seolah-olah sudah ketinggalan.

Kode Etik Jurnalistik yang disepakati bersama puluhan organisasi pers pada tahun 2006, serta Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pun tampaknya tidak lagi mampu menampung kebutuhan dan perkembangan yang ada.

Merasa perlu mewadahi dan merangkul media dan ''wartawan model baru'' (jurnalisme warga dan pengelola website / blog di internet), Dewan Pers kemudian memutuskan akan membuat Kode Etik Jurnalistik baru.

Bukan untuk menggantikan kode etik jurnalistik yang sudah disepakati bersama puluhan organisasi pers pada tahun 2006, melainkan guna merangkul atau membuat aturan tersendiri bagi masyarakat yang ingin terlibat atau dilibatkan oleh media massa dalam kegiatan jurnalistik.

''Dewan Pers akan membuat kode etik jurnalistik tersendiri bagi wartawan media online dan mengatur tentang jurnalisme warga (citizen journalism),'' kata Ketua PWI Sulsel, Zulkifli Gani Ottoh, pada pembukaan Pelatihan Dasar Kewartawanan yang diikuti 75 peserta, di Ruang Diklat PWI Sulsel, Jl. AP Pettarani, Makassar, 3 Juni 2010.

Perkembangan dunia jurnalistik dewasa ini melaju cukup kencang. Media online berlari cepat, sehingga banyak pakar yang memprediksi media cetak dan media elektronik (radio dan televisi) akan tertinggal. Prediksi itu tampaknya sudah mulai terlihat kebenarannya. Buktinya, sudah banyak media cetak yang mati alias tidak terbit lagi selamanya atau ''hidup segan mati tak mau.''

''Dengan perkembangan tersebut, kedudukan kita (media cetak dan media elektronik) sekarang ada dimana? Inilah kenyataan yang ada sekarang dan inilah tantangan bagi kita semua,'' kata Zulkifli.

Media cetak yang mampu bertahan dan tetap eksis di era teknologi komunikasi dan era informasi dewasa ini hanyalah yang mampu melakukan berbagai penyesuaian, antara lain dengan melibatkan masyarakat dalam membuat berita. Pelibatan masyarakat itulah yang disebut ''jurnalisme warga'' atau citizen journalism.

Media cetak juga mau tidak mau harus tampil dalam dua versi, yakni versi cetak dan versi online. Bahkan ada beberapa media cetak besar yang mengembangkan sayapnya dengan membuka radio siaran dan televisi.

Media massa mampu menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan yang ada hanyalah media massa yang perusahaannya sehat. Berdasarkan pemikiran itulah, Dewan Pers kemudian mengajak sejumlah pengusaha nasional untuk bersama-sama bertekad melakukan penyehatan perusahaan pers.

''Pada peringatan Hari Pers Nasional, 9 Februari 2010 di Palembang, Dewan Pers berhasil mengajak 18 pengusaha besar nasional menandatangani Piagam Palembang, tentang penyehatan perusahaan pers,'' ungkap Zulkifli.

Piagam Palembang berisi empat hal, yaitu pertama, semua media akan melaksanakan Kode Etik Jurnalistik, kedua, semua media harus tunduk kepada standar pendirian / perusahaan pers, ketiga, standar perlindungan wartawan, serta keempat, standar kompetensi wartawan.

Ketua PWI Sulsel, Zulkifli Gani Ottoh, mengakui bahwa beberapa tahun terakhir banyak media cetak yang terbit musiman atau terbit karena ada yang mendanai untuk kepentingan sesaat, misalnya untuk kepentingan Pemilu atau Pilkada.

Selain itu, ada media cetak yang tidak menyiapkan gaji bagi wartawannya, bahkan sebaliknya wartawanlah yang diperintahkan mencari uang lalu menyetornya kepada pemilik koran.

''Ini 'kan tidak benar, tetapi itu dulu. Mudah-mudahan sekarang tidak ada lagi,'' kata Zulkifli.

Khusus kepada wartawan, Ketua PWI Sulsel menyarankan agar terus menerus meningkatkan kualitasnya dengan banyak membaca, berdiskusi, serta mengikuti pelatihan jurnalistik. Ke depan, katanya, wartawan yang direkrut menjadi anggota PWI harus berijazah minimal Diploma Tiga (D3).

''Jadilah wartawan yang baik dan benar, tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik. PWI memerlukan kader-kader wartawan muda yang cerdas dan kuat mentalnya,'' kata Zulkifli.
Kapak dan Perempuan

Penulis yang dipercaya sebagai ketua panitia pada pelatihan dasar kewartawanan tersebut, juga memberikan motivasi agar rekan-rekan wartawan tidak pernah berhenti belajar, sehingga tidak ketinggalan informasi dan tidak terlindas oleh perubahan yang begitu cepat.

''Saya juga berharap rekan-rekan wartawan tidak mudah tergoda dengan berbagai macam iming-iming dan rayuan dalam melaksanakan tugas jurnalistik,'' kata penulis.
Penulis kemudian menceritakan sebuah anekdot tentang seorang petani yang tinggal di pinggiran hutan dan kerjanya antara lain mencari kayu di hutan dan kemudian menjualnya ke kota.

''Suatu hari, kampak yang menjadi andalan si petani penjual kayu jatuh ke sungai dan celakanya dia tidak bisa berenang. Si petani kemudian meminta bantuan dewa untuk mengambilkan kampaknya,'' ujar penulis memulai cerita.

Dewa kemudian datang membantu dan masuk ke dasar ke sungai. Tak lama kemudian, dewa muncul dan membawa kampak emas, lalu bertanya kepada si petani apakah kampak emas tersebut adalah miliknya.

''Kalau teman-teman wartawan berada pada posisi seperti si petani, apakah anda akan mengakui bahwa kampak emas tersebut adalah milik anda?,'' tanya penulis kepada peserta pelatihan.

Sebagian peserta mengatakan tidak, tetapi ada juga mengatakan iya sambil tersenyum. Penulis kemudian melanjutkan cerita bahwa si petani secara spontan mengatakan kampak tersebut bukan miliknya.

Dewa kemudian turun kembali ke dasar sungai dan muncul ke permukaan dengan membawa kampak perak, tetapi lagi-lagi si petani mengatakan kampak tersebut bukan miliknya.
Dewa sangat kagum atas kejujuran si petani. Tak lama kemudian ia turun ke dasar sungai dan muncul dengan membawa kampak tua milik si petani. Barulah si petani gembira dan mengatakan kampak tua tersebut adalah miliknya.

Sebagai wujud kekagumannya kepada si petani, dewa kemudian turun kembali ke dasar sungai lalu muncul ke permukaan dengan membawa dan menyerahkan kampak emas dan kampak perak sekaligus kepada si petani.

''Suatu hari, si petani bersama isterinya berjalan bersama di tepi sungai. Tanpa sengaja kaki isteri si petani terkilir dan terjatuh ke sungai. Si petani ingin membantu, tetapi ia tidak bisa berenang,'' kata penulis.

Si petani kemudian kembali memohon bantuan kepada dewa. Tak lama datanglah dewa membantu dan langsung turun ke dasar sungai.

''Dewa muncul ke permukaan dengan membopong perempuan muda dan cantik. Kemudian dewa bertanya kepada si petani, apakah perempuan tersebut adalah isterinya. Kalau anda berada pada posisi si petani, apakah anda akan jujur mengakui bahwa perempuan itu bukan isteri anda atau langsung mengatakan iya, itu isteri saya?'' pancing penulis kepada peserta pelatihan.

Semua wartawan tertawa. Ada yang menjawab tidak, tetapi ada juga yang mengatakan iya. Suasana langsung gaduh.

Penulis kemudian melanjutkan bahwa di luar dugaan si petani mengatakan kepada dewa bahwa benar perempuan muda dan cantik itu adalah isterinya yang terjatuh beberapa saat lalu.

''Dewa kemudian mengatakan kepada si petani, kamu ternyata sudah mulai tidak jujur. Si petani membela diri dengan mengatakan bahwa dirinya terpaksa mengakui bahwa perempuan muda dan cantik tersebut adalah isterinya, karena khawatir dewa akan memberikan tiga perempuan sekaligus. Pertanyaan saya, apakah si petani benar-benar jujur atau tidak jujur dengan jawabannya itu?'' tanya penulis kepada peserta pelatihan dasar kewartawanan.

Suasana kembali ramai oleh tawa dan jawaban bervariasi dari para peserta pelatihan. Masih dalam suasana ramai, penulis kemudian menutup pertemuan karena sudah memasuki jadwal Ishoma. ()

31 Mei 2010

Penguasa Kepala Batu



http://www.tribun-timur.com/read/artikel/107979/Penguasa-Kepala-Batu

Penguasa Kepala Batu

Oleh : Asnawin
(Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Satria, Makassar)

Harian TRIBUN TIMUR, Makassar
Senin, 31 Mei 2010

Ada sebuah teori dalam ilmu komunikasi (massa) yang disebut Teori Khalayak Kepala Batu (The Obtinate Audience Theory). Ide awalnya dikemukakan oleh LA Richards pada tahun 1936, tetapi dikembangkan sebagai sebuah ilmu dan teori baru oleh pakar psikologi Raymond Bauer pada tahun 1964.

Teori khalayak kepala batu merupakan koreksi atau kritikan atas Teori Peluru (The Ballet Theory) atau Teori Jarum Hipodermik (Hypordemic Needle Theory) yang berkembang dan mendominasi kajian komunikasi sebelumnya. Kedua teori itu menganggap khalayak (masyarakat) itu pasif.

Raymond Bauer mengeritik asumsi tersebut dan mengatakan khalayak bukan robot yang pasif, serta bukan hanya bersedia mengikuti pesan atau pembicaraan politik yang memberi keuntungan atau memenuhi kepentingan dan kebutuhannya. (Anwar Arifin, 2008 : 89)

Khalayak tersebut terdiri atas individu-individu yang selalu berinterelasi (berhubungan) dan berinteraksi (saling memengaruhi) dengan individu-individu lainnya, dalam suatu wadah yang disebut publik.

Publik atau penerima (audience) itu sama sekali tidak pasif melainkan sangat aktif. Mereka aktif menyaring, menyeleksi, dan mengolah secara internal semua pesan dan pembicaraan yang berasal dari luar dirinya. Ini merupakan proses psikologi yang sangat mendasar.

Publik atau khalayak memiliki daya tangkal dan daya serap terhadap semua terpaan pesan kepada mereka. Pesan yang masuk akan disaring, diseleksi, kemudian diterima atau ditolak melalui filter konseptual.

Daya tangkal inilah yang membuat publik atau khalayak sering juga disebut sebagai "khalayak kepala batu" (the obstinate audience).

Abaikan Aspirasi

Ketika membuat dan memaparkan makalah dalam salah satu perkuliahan pada program pascasarjana Universitas Satria, Makassar, penulis mengatakan, pada kenyataannya, bukan hanya khalayak umum yang memiliki daya tangkal, melainkan juga orang yang tengah berkuasa.

"Penguasa kepala batu", mungkin itulah istilah yang cocok buat para penguasa yang tidak peduli atau mengabaikan pesan, aspirasi, dan opini publik yang berkembang di tengah masyarakat.

Penguasa kerap mengabaikan opini publik yang berasal dari rakyat yang telah memilih dan memberi mereka mandat untuk menjadi pemimpin, padahal dari mandat itulah pemimpin dituntut sesegera mungkin untuk memenuhi kewajibannya: yakni mewujudkan harapan menjadi kenyataan.

Semakin berlama-lama menghadirkan perwujudan harapan, semakin pula menjauhkan kepercayaan pemberi mandat. Dalam kondisi ini, ruang tunggu sejarah tidak menginginkan adanya tumpukan kekecewaan. Sekali saja kekecewaan dimunculkan, sama artinya membuka pintu ketidakpercayaan.

Menurut Kousoulas (1979), opini publik dapat menjadi salah satu faktor politik jika dalam banyak hal ia berpengaruh terhadap proses pengambilan dan pelaksanaan sesuatu keputusan oleh para penyelenggara negara maupun politisi lainnya.

Opini publik merupakan penjelmaan suara rakyat. Mengabaikan opini publik sama artinya memberikan momentum penurunan kepercayaan kepada pemerintah.

Presiden, gubernur,walikota, dan bupati sudah banyak yang merasakan dampak dari sikap mereka yang kerap mengabaikan opini publik.

Duet Presiden SBY dan Wapres Boediono bisa jadi contoh kasus sebagai "penguasa kepala batu". Mereka berdua mengabaikan keinginan rakyat dan opini publik yang menginginkan berbagai perubahan dan mengharapkan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Rakyat menginginkan pelayanan yang baik, fasilitas umum yang memadai dan bisa dinikmati secara merata, pendidikan yang bagus dan terjangkau, penghapusan sistem ujian nasional, pemberantasan korupsi, penegakan hukum, dan lain sebagainya.

Keinginan rakyat dan opini publik tersebut tampaknya tidak langsung direspons oleh duet SBY-Boediono. Mereka mengabaikan opini publik. Mereka berdua menjadi "penguasa kepala batu."

Dengan menjadi "penguasa kepala batu", duet Presiden SBY dan Wapres Boediono kini tidak lagi mendapat kepercayaan besar, bahkan sebaliknya mereka berdua sudah dianggap gagal menjalankan pemerintahan. Dengan kata lain, duet SBY-Boediono dianggap telah gagal melaksanakan amanat atau mandat yang diberikan rakyat Indonesia kepada mereka.

Soekarno-Soeharto

Machiavelli mengatakan, orang yang bijaksana tidak akan mengabaikan opini publik mengenai soal-soal tertentu, misalnya pendistribusian jabatan dan kenaikan jabatan. Dengan kata lain, penguasa yang tidak peduli dan mengabaikan opini publik pastilah bukan orang yang bijaksana.

Kejatuhan Presiden pertama Indonesia, Soekarno, tidak terlepas dari sikapnya yang sering mengabaikan opini publik. Jasanya yang sangat besar sebagai Proklamator Kemerdekaan RI, tidak mampu menahan gejolak kemarahan rakyat atas berbagai kebijakan dan langkah-langkahnya dalam memimpin negara.

Soekarno antara lain dianggap terlalu dekat dengan Partai Komunis Indonesia yang tidak disenangi oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Soekarno juga tidak langsung memenuhi "Tritura" atau tiga tuntutan rakyat yakni bubarkan PKI berserta ormas-ormasnya, perombakan kabinet Dwikora, serta turunkan harga dan perbaiki sandang-pangan.

Presiden kedua Indonesia, Soeharto juga terlalu lama mengabaikan opini publik. Pendapat umum atau opini publik yang berkembang yaitu dirinya terlalu lama berkuasa (lebih dari 30 tahun) sehingga sudah perlu diganti, bahwa rakyat Indonesia membutuhkan pemimpin baru yang lebih muda dan energik, bahwa pola pikir dan pola kepemimpinannya sudah ketinggalan zaman di era modern.

Akibat pengabaian opini publik tersebut, rakyat Indonesia kecewa dan kekecewaan itu terus-menerus menumpuk. Rakyat Indonesia kemudian marah dan melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran menuntut Soeharto mengundurkan diri dan meletakkan jabatannya sebagai Presiden RI. Karena kuatnya desakan tersebut, Soehato akhirnya mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 atau sehari sesudah peringatan Hari Kebangkitan Nasional.

Masyarakat Indonesia kemudian menetapkan 21 Mei sebagai Hari Reformasi Nasional. Pengunduran atau kejatuhan Soeharto sekaligus mengawali era baru pemerintahan dan kehidupan demokrasi di Indonesia, yakni Era Reformasi.

Dengan berkaca pada dampak dari pengabaian opini publik oleh tiga Presiden RI, serta demi tegaknya demokrasi, kita berharap kepada para pengambil kebijakan, khususnya orang yang tengah mendapat mandat dari rakyat untuk menjadi pemimpin, agar kiranya tidak mengabaikan opini publik, serta berupaya menjalin komunikasi yang baik dan positif dengan rakyat yang dipimpin dan yang telah memilihnya sebagai pemimpin.***

17 Mei 2010

Banyak Kebudayaan Pinjaman di Sulsel



http://www.ujungpandangekspres.com/view.php?id=47226
Harian Ujungpandang Ekspres, Makassar
Selasa, 18-05-2010

Banyak Kebudayaan Pinjaman di Sulsel

Oleh: Asnawin
Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Satria Makassar

Masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) memiliki banyak kebudayaan dan kearifan lokal, tetapi sebagian masyarakat dan sejumlah orang yang tengah berkuasa, lebih senang ‘’memakai baju’’ kebudayaan pinjaman dan ‘’melepas baju’’ kebudayaan atau kearifan lokal. Itu terjadi karena adanya komunikasi antar-budaya dan lemahnya pertahanan budaya masyarakat Sulsel.

Komunikasi antar-budaya secara langsung maupun secara tidak langsung telah ‘’membuka mata’’ orang Sulsel bahwa ada budaya lain yang berbeda dengan budaya asli mereka. Ada yang terbelalak matanya, ada yang silau, ada yang menyipitkan matanya, dan ada yang menutup mata.

Kemajuan teknologi (terutama teknologi komunikasi), derasnya arus informasi, bertambahnya orang kaya yang mampu ‘’jalan-jalan’’ ke kota, provinsi, dan atau ke negara lain, serta banyaknya orang asing yang berkunjung ke daerah kita, secara tidak langsung telah mengakibatkan terjadinya kontak atau komunikasi antar-budaya.

Kontak dengan kebudayaan lain dapat mengakibatkan perubahan atas satu kebudayaan atau bahkan dua kebudayaan sekaligus. Pada awal kontak antar-budaya, terjadi proses peniruan karakteristik dari isi suatu unsur kebudayaan tertentu. Setelah proses peniruan itu dipakai berulang-ulang dan dibiasakan dalam suatu komunitas tertentu, maka kebudayaan yang sebelumnya hanya merupakan pinjaman, berubah menjadi kebudayaan setempat.

Dalam kebudayaan, proses pinjaman kebudayaan berbeda dengan akulturasi. Akulturasi adalah proses pertemuan unsur-unsur dari berbagai kebudayaan yang berbeda, yang diikuti dengan percampuran unsur-unsur tersebut.

Syarat akulturasi adalah harus didahului oleh kontak, tetapi dalam kebudayaan pinjaman tidak selalu atau bahkan tidak didahului dengan kontak. Sebagian masyarakat Sulsel tidak kontak dengan kebudayaan Amerika, tidak pernah pergi ke Negeri Paman Sam, tetapi banyak di antara mereka yang suka makan ayam goreng di McDonald, California Fried Chicken, dan atau Kentucky Fried Chicken.

Sebelum berbicara lebih jauh tentang kebudayaan pinjaman di Sulawesi Selatan, ada baiknya terlebih dahulu kita memiliki pemahaman yang sama tentang budaya dan kebudayaan.

Kebudayaan berasal dari kata budaya yang memiliki banyak arti, antara lain adat istiadat, sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju, dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah).

Secara etimologis, budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Budaya kemudian diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.

Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin, colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai kultur dalam bahasa Indonesia.

Berdasarkan pengertian kata dasarnya itu, maka kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Kebudayaan juga diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.

Edward Burnett Tylor dalam bukunya ‘’Primitive Culture’’ mengatakan, kebudayaan adalah kompleks dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat, serta setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat.

Kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat merupakan kekuatan abstrak yang mampu memaksa dan mengarahkan pendukungnya untuk berperilaku sesuai dengan sistem pengetahuan, gagasan, dan kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat.

Kebudayaan lokal Sulawesi Selatan adalah kebudayaan yang dimiliki masyarakat Sulsel berupa kebiasaan-kebiasaan secara turun-temurun dalam berperilaku, berbuat, dan melakukan sesuatu dalam kehidupan sehari-hari.

Kebudayaan Lokal


Dalam berbagai literatur, dari berbagai hasil diskusi, serta berdasarkan pengalaman pribadi sebagai orang yang lahir dan dibesarkan dalam kebudayaan lokal Sulsel, penulis dapat menyebutkan beberapa kebudayaan asli dan kearifan lokal masyarakat Sulsel.

Beberapa puluh tahun silam, perempuan Sulsel (khususnya Bugis-Makassar) jarang sekali keluar rumah. Kalau mereka keluar rumah, maka kita dengan mudah akan mengenali dan mengidentifikasi mereka sebagai perempuan, terutama dari rambut dan pakaiannya (feminim). Mereka juga lebih banyak tersenyum dan hanya sekali-sekali berbicara tetapi itupun dengan ‘’volume kecil.’’

Sekarang, perempuan Sulsel ‘’berkeliaran’’ di mana-mana dan tak jarang penampilan mereka tidak ada bedanya dengan laki-laki. Kalau berbicara, volume suara mereka kadang-kadang lebih besar dibanding volume suara laki-laki.

Orang Sulsel juga sangat gemar bergotong-royong (abbulo sibatang/mabbulo sibatang). Memindahkan atau membangun rumah pun sering dilakukan secara gotong-royong. Semuanya dilakukan secara sukarela, senang hati, bahkan dalam suasana ceria. Sekarang, gotong-royong sudah merupakan barang langka dan mahal harganya.

Jika ada di antara tetangga atau keluarga yang mengalami kesulitan, sedang susah, atau perlu dibantu, maka orang-orang akan segera memberikan bantuan secara sukarela, karena orang Sulsel punya budaya kesetiakawanan sosial (pesse/pacce), serta saling tolong-menolong (mali siparappe, rebba sipatokkong).

Dalam pergaulan sehari-hari, orang Sulsel sangat menjaga tata krama (ada’/ade’), tetapi sekarang sudah banyak orang Sulsel yang seolah-olah tidak mengenal ada’ atau ade’, baik dalam pergaulan dengan orang lain, maupun pergaulan dengan orang yang lebih tua atau bahkan dengan orangtua kandung.

Dulu, pemimpin dipilih berdasarkan kapasitas dan dedikasi. Pemimpin zaman dulu juga sangat dihormati, disegani, bahkan kadang-kadang ditakuti, karena mereka berani dan bertanggung-jawab (warani/barani), memiliki keyakinan yang teguh (getteng), serta menjaga harga diri (siri’), sehingga mereka punya kharisma dan kewibawaan. Sekarang pemimpin (penguasa) dipilih karena ‘’isi tas’’ dan prestasi semu, tetapi tidak banyak di antara mereka yang dihormati, disegani, apalagi ditakuti.

Kebudayaan Pinjaman


Kini kebudayaan dan kearifan lokal sudah banyak yang terlupakan dan diganti dengan kebudayaan pinjaman.

Beberapa kebudayaan pinjaman itu antara lain cara berpakaian yang tidak lagi feminim di kalangan perempuan, cium pipi kanan – cium pipi kiri (cipika-cipiki) setiap bertemu, anak menyapa orangtua dengan tanpa rasa hormat, dan murid menelepon guru tanpa rasa segan.

Selain itu, banyak orang yang lebih senang mengungkapkan kekecewaan dan atau kemarahan secara frontal (aksi unjukrasa, dsb), serta banyak ditemui remaja atau orang dewasa lain jenis kelamin dan bukan suami-isteri berdua-duaan dan bermesraan di tempat umum .

Kita juga sering membiarkan orang lain (keluarga, sahabat, tetangga, rekan kerja) berbuat hal-hal yang kurang bagus, serta lebih mendahulukan berbagai macam kesibukan dibanding bersosialisasi dan berkomunikasi dengan tetangga.

Kebudayaan pinjaman lain yaitu menghabiskan malam di tempat hiburan malam (THM), menyanyikan lagu-lagu keras dengan syair bahasa asing, serta membangun rumah dengan meniru gaya arsitektur Barat.

Masih banyak lagi kebudayaan pinjaman yang akhirnya seolah-olah sudah menjadi kebudayaan setempat masyarakat Sulsel.

Budaya korupsi juga mungkin masuk kategori kebudayaan pinjaman, karena sampai saat ini penulis belum menemukan literatur yang menyatakan bahwa orang Sulsel zaman dulu suka korupsi.

Sebagai ‘’produk’’ orang Sulsel tahun enampuluhan, penulis sangat merindukan tampilnya kembali kebudayaan lokal dan kearifan lokal sebagai ‘’tuan rumah’’ di Sulsel. Masih bisakah itu diwujudkan? (***)

27 April 2010

Komunikasi Politik ala Muhammadiyah

Muhammadiyah identik dengan Din Syamsuddin, Syafii Maarif, Amien Rais, KH AR Fachruddin, dan KH Ahmad Dahlan. Mereka identik dengan Muhammadiyah karena mereka adalah orang yang sedang atau pernah menjabat ketua umum organisasi Islam terbesar di Indonesia itu.

13 April 2010

Evasi Komunikasi Susno - Polri



Evasi Komunikasi Susno – Polri

Oleh: Asnawin
(Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Satria Makassar)


Hubungan batin antara orangtua dan anak tentu sulit dipisahkan, apalagi kalau sang anak sudah dirawat, dididik, dan dibesarkan selama 33 tahun. Kalau sang anak kemudian melawan orangtuanya dan bahkan menjelek-jelekkan orangtuanya di depan orang banyak, maka durhakalah sang anak tersebut.

Mungkin tidak salah kalau Susno Duadji dianggap sebagai anak dan Polri adalah orangtuanya, karena Komjen Pol Susno Duadji memang sudah 33 tahun mendapat didikan dan pembinaan di institusi Polri. Tetapi kalau Susno disebut sebagai anak durhaka karena melawan Polri sebagai orangtuanya, mungkin bisa menjadi diskusi panjang. Yang perlu dipertanyakan, mengapa sampai Susno ‘’melawan’’ dan bahkan ‘’menjelek-jelekkan’’ nama baik Polri. Mengapa ‘’hubungan batin’’ atau komunikasi yang sudah terjalin baik selama puluhan tahun bisa rusak?

Dalam ilmu komunikasi disebutkan bahwa ada banyak hambatan yang bisa merusak komunikasi, antara lain gangguan (noise), kepentingan (interest), motivasi terpendam (latent motivation), dan prasangka (prejudice).

Hambatan komunikasi tersebut secara umum dibagi atas dua sifat, yakni objektif dan subjektif. Hambatan yang sifatnya objektif adalah gangguan dan halangan jalannya komunikasi yang tidak sengaja dibuat oleh pihak lain, tapi mungkin karena faktor cuaca atau caranya yang salah. Sebaliknya, hambatan yang bersifat subjektif adalah gangguan atau halangan yang memang sengaja dibuat oleh orang lain, karena faktor kepentingan, tamak, iri hati, dan lain-lain.

Kalau ada orang yang merasa terganggu kepentingannya, dirusak nama baiknya, maka biasanya ia akan memberikan reaksi dengan cara menghindari komunikasi dengan pihak yang mengganggu kepentingannya atau merusak nama baiknya. Jika sudah tidak bisa menghindar atau apabila sudah tidak bisa menahan diri, maka ia bisa mencemoohkan, menyesatkan, atau mencacatkan komunikasi. Gejala menyesatkan pengertian, mencacatkan pesan komunikasi, dan mengubah kerangka referensi (changing frame of reference) ini dalam ilmu komunikasi disebut evasi komunikasi (evasion communication).

Apakah Susno Duadji telah melakukan evasi komunikasi terhadap Polri? Jika melihat sepak terjangnya sejak dilengserkan secara resmi dari jabatannya selaku Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri pada 30 November 2009, Susno tampaknya telah menghindari komunikasi dengan institusinya.

Pada Kamis, 7 Januari 2010, Susno tampil menjadi saksi di sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dengan membeberkan kesaksian yang meringankan Antasari Azhar, mantan Ketua KPK, yang dilengserkan setelah didakwa sebagai otak pembunuhan berencana Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Ia tampil dengan pakaian uniform polisi, tetapi tanpa izin dari pimpinan institusinya.

Susno Duadji juga tampil di depan Pansus Angket DPR Kasus Bank Century, pada Rabu, 20 Januari 2010, dengan antara lain memberikan dokumen yang lalu disebut ‘testimoni’ dan selanjutnya dikembangkan dan diterbitkan menjadi buku berjudul: Bukan Testimoni Susno Duadji.

Testimoni itu antara lain menyangkut kesengajaan (tidak memprioritaskan) melanjutkan penyidikan kasus bail out Bank Century, karena ada yang diduga terlibat sedang mengikuti Pemilu Wakil Presiden dan kemudian menang. Selanjutnya, Susno Duadji mengungkap aib makelar kasus pencucian uang dan pajak di Mabes Polri, dalam diskusi bukunya, ‘’Bukan Testimoni Susno’’, pada Rabu, 10 Maret 2010, di Gallery Cafe, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.

Tidak cukup sampai di situ, Susno kemudian melaporkan masalah tersebut kepada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum pada Kamis, 18 Maret 2010. Laporan itulah yang kemudian mengungkap kasus mafia pajak yang ‘’melambungkan’’ nama Gayus Tambunan dan sekaligus menyeret beberapa jenderal polisi.

Opini Publik

Mengapa Susno berani mengambil risiko sebesar itu? Mengapa Susno berani membuka tabir (whistle blower) makelar kasus di Mabes Polri? Mengapa Susno ‘’melawan’’ institusinya?

Dapat diduga Susno melakukan semua itu karena dirinya merasa dikorbankan dalam kasus kriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Bibit dan Chandra), maupun dalam kasus pembunuhan berencana yang didakwakan kepada Antasari Azhar.

Opini publik yang terbentuk menyimpulkan bahwa Susno adalah tokoh penting di balik rekayasa pelemahan KPK itu. Tak heran kalau kemudian ia mendapat cacian bertubi-tubi dari berbagai elemen masyarakat.

Susno mengibaratkan Polisi sebagai buaya versus KPK sebagai cicak, sehingga kasus kriminalisasi pimpinan KPK menjadi lebih populer dengan sebutan Cicak versus Buaya. Istilah itulah yang kian memicu gelombang protes kepada Polri dan menuai dukungan kepada KPK.

Masyarakat bahkan tak mau mendengarkan penjelasan Susno bahwa istilah itu dikemukakannya dalam suatu percakapan dengan wartawan tentang teknologi penyadapan yang dimiliki Polri dan KPK. Susno menjelaskan bahwa dari segi teknologi penyadapan, peralatan Polri masih lebih baik dibanding milik KPK. Perbandingannya seperti buaya (Polri) dan cicak (KPK). Tapi dari segi kewenangan atau kekuasaan justru sebaliknya KPK ibarat buaya dan Polri ibarat cicak. Sayangnya, penjelasan itu tidak bisa lagi membendung opini publik bahwa Polri menganggap dirinya sebagai buaya dan KPK sebagai cicak.

Tim Delapan (Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas kasus dugaan pemerasan yang dituduhkan kepada dua pimpinan KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto) yang dibentuk Presiden SBY, juga turut menuding Polri berada di balik rekayasa kriminalisasi KPK, serta menganggap Susno memegang peranan penting dalam kasus tersebut.

Masyarakat pun semakin yakin bahwa Susno memegang kendali atas rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK, terutama karena jabatannya sebagai Kepala Bareskrim. Penjelasan Susno bahwa dirinya sebagai Kabareskrim tidak dilibatkan dalam pengusutan dugaan suap dan pemerasan yang dituduhkan kepada pimpinan KPK (Bibit-Chandra), pun dianggap sebagai angin lalu.

Citra Susno sebagai Kabareskrim Polri semakin buruk karena dirinya disebut-sebut pernah menemui Anggoro Widjojo (bos PT Masaro) di Singapura saat mengusut kasus pencairan dana Budi Sampoerna di Bank Century dan kasus korupsi PT Masaro yang melibatkan Anggoro Widjojo, kakak Anggodo Widjojo.

Opini publik yang paling membuat Susno sedih adalah dugaan bahwa dirinya menerima aliran dana Rp 10 miliar dalam kasus pencairan dana Budi Sampoerna di Bank Century. Bantahannya di depan Komisi III DPR bahwa dirinya tidak pernah menerima Rp.10 miliar dari Budi Sampurna atau siapapun dalam kasus Bank Century, lagi-lagi tidak dipercaya oleh publik.

Dalam kondisi seperti itu, bukannya mendapat pembelaan dari institusinya, Susno malah dilengserkan dari jabatannya sebagai Kepala Bareskrim Polri dan digantikan oleh Komjen Pol Ito Sumardi Djunisanyoto, pada 24 November 2009. Maka kalau sekarang Susno melakukan evasi komunikasi kepada institusinya, mungkin banyak pihak yang bisa memakluminya, termasuk orang atau pihak-pihak yang sebelumnya pernah mencaci-maki Susno.

Keterangan :
- Artikel ini dimuat di Harian Fajar, Makassar, Sabtu, 10 April 2010 (halaman 4)

27 Februari 2010

Korupsi, Ya, Korupsi



Korupsi, Ya, Korupsi

Oleh: Asnawin

(Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Satria, Makassar)

Ada empat hukum dasar logika, yaitu hukum identitas, hukum kontradiksi, hukum tiada jalan tengah, dan hukum cukup alasan. ‘’Hukum identitas’’ menyebutkan bahwa sesuatu adalah selalu sama atau identik dengan dirinya sendiri. Menurut hukum ini, A adalah A dan bukan yang lainnya. Keberadaannya absolut. Contohnya, korupsi adalah korupsi, bukan yang lain.

Itu adalah sesuatu yang logis. Ketika ada penyimpangan atau pelanggaran hukum identitas, maka terjadilah sesuatu yang tidak logis. Korupsi misalnya, kalau dibelokkan menjadi salah prosedur atau kesalahan administratif maka ia menjadi tidak logis, karena awalnya ia adalah suatu perbuatan korupsi, namun kemudian dibelokkan sehingga menjadi bukan korupsi.

Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan korupsi? Korupsi berasal dari Bahasa Latin, corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok.

Korupsi cukup banyak definisinya. Salah satu di antaranya diutarakan Transparansi Internasional, dengan mengatakan korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik, yang dipercayakan kepadanya.

Secara hukum, definisi korupsi dijelaskan pada 13 pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001. ‘’Berdasarkan itu, korupsi dirumuskan dalam 30 bentuk, yang dikelompokkan ke dalam kerugian negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi.’’

Pendapat lain mengatakan, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan (wewenang) publik untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok yang menjadi gantungan kesetiaan.

Dari berbagai definisi itu, dapat disimpulkan bahwa korupsi mengandung unsur-unsur melawan hukum, melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan yang ada pada pelaku korupsi karena jabatan atau kedudukannya, kerugian keuangan (kekayaan dan atau perekonomian) negara, serta memperkaya diri sendiri (orang lain dan atau korporasi).

Menurut Amien Rais (2008), korupsi itu ada dua macam. Pertama, korupsi biasa, mulai dari korupsi kecil-kecilan (petty corruption) hingga korupsi besar-besaran (grand corruption). Kedua, korupsi yang menyandera negara (state capture corruption atau state-bijacked corruption).

Beberapa kasus korupsi di Indonesia yang mencuat ke permukaan, ada yang berakhir dengan hukuman penjara, tetapi tidak sedikit juga yang akhirnya dianggap sebagai kesalahan prosedur atau kesalahan administratif.

Kasus pengucuran dana talangan triliunan rupiah oleh pemerintah untuk menyuntik bank bermasalah, memang dibolehkan selama semuanya berlangsung wajar, logis, dan sesuai aturan. Namun kalau ada indikasi ketidakwajaran, misalnya karena pemilik bank bersangkutan merampok uang di bank-nya sendiri sehingga bank tersebut bangkrut, lalu pemerintah yang turun tangan menyelamatkan bank tersebut, maka itu adalah sesuatu yang tidak logis. Karena tidak logis dan dianggap melanggar ‘’hukum identitas’’, maka sangat pantas kalau kemudian banyak yang mempersoalkannya, mulai dari rakyat biasa hingga wakil rakyat di parlemen.

Rasional dan Transparan

Hukum kedua dalam hukum dasar logika adalah ‘’hukum kontradiksi’’ yang menyatakan bahwa sesuatu pada waktu yang sama tidak dapat sekaligus memiliki sifat tertentu dan juga tidak memiliki sifat tertentu itu. Misalnya, suatu perbuatan tidak mungkin secara bersamaan dianggap sebagai korupsi dan bukan korupsi.

Begitu pun seorang pejabat publik misalnya, tidak mungkin ia mengampanyekan perlunya pemberantasan korupsi lalu ia sendiri yang melakukan korupsi. Kalau pun terjadi, maka itu berarti menyalahi atau melanggar hukum kontradiksi dan karenanya perbuatan pejabat publik bersangkutan adalah tidak logis.

Hukum ketiga adalah ‘’hukum tiada jalan tengah’’ yang menyatakan bahwa sesuatu itu pasti memiliki suatu sifat tertentu atau tidak memiliki sifat tertentu itu, dan tidak ada kemungkinan ketiga. Hukum ketiga dalam hukum dasar logika ini merupakan kelanjutan dari hukum kedua. Hukum ketiga ini memberi landasan bagi kejernihan dan konsistensi dalam berpikir.

Misalnya pejabat publik yang mengampanyekan perlunya pemberantasan korupsi lalu ia sendiri yang melakukan korupsi karena sedang mencoba-coba sebagai kemungkinan ketiga, maka kemungkinan ketiga ini pasti ditolak.

Menurut ‘’hukum tiada jalan tengah’’, kemungkinannya hanya dua, yakni pejabat publik tersebut memang antikorupsi atau memang seorang koruptor. Tidak ada kemungkinan lain sebagai kemungkinan ketiga.

Hukum keempat atau hukum terakhir dalam hukum dasar logika adalah ‘’hukum cukup alasan’’, yaitu jika terjadi perubahan pada sesuatu, maka perubahan itu harus berdasarkan alasan yang cukup memadai dan cukup dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Indikator rasional menjadi penting karena kebenaran yang paling bisa dipertanggungjawabkan adalah kebenaran ilmiah.

Pengucuran dana talangan triliunan rupiah oleh pemerintah misalnya untuk menyelamatkan sebuah bank bermasalah, harus disertai argumentasi yang rasional, transparan, sekaligus cukup jelas bagi rakyat kebanyakan.

Hal tersebut perlu dilakukan karena dana talangan triliunan rupiah pastilah menggunakan uang negara yang berarti uang rakyat, apalagi kalau rakyat sudah terlanjur tahu dan kemudian terbentuk opini publik bahwa ada yang tidak logis dalam pengucuran dana talangan tersebut.

Penjelasan bahwa pengucuran dana talangan tersebut dilakukan karena dikhawatirkan akan terjadi dampak sistemik terhadap perbankan nasional, bukan merupakan penjelasan yang cukup alasan.

Penjelasan yang cukup adalah penjelasan yang komprehensif atau menyeluruh mulai dari penyebab bangkrutnya bank bermasalah tersebut, alasan dan dasar hukum pengambilan kebijakan pengucuran dana talangan, serta tindak lanjut terhadap pemilik bank yang merampok uang di bank-nya sendiri.

Pelanggaran atau penyimpangan terhadap keempat hukum dasar logika formal ini bisa jadi tidak menyebabkan seseorang atau sejumlah orang masuk penjara, tetapi seseorang atau sejumlah orang tersebut akan mendapat vonis ‘’tidak logis’’ dari orang dekat, keluarga, tetangga, dan atau publik.

Seseorang yang divonis ‘’tidak logis’’ akibat perbuatan korupsi misalnya, mungkin akan selamanya dianggap dan dikenang sebagai koruptor hingga mati, karena siapa pun tidak mungkin melakukan banding atau kasasi kepada semua orang yang telah menjatuhkan vonis ‘’tidak logis’’. Untuk menghindari vonis ‘’tidak logis’’, sebaiknya janganlah melawan atau melanggar hukum dasar logika.

- Keterangan: artikel ini dimuat Harian Fajar, Makassar, pada halaman 4, hari Kamis, 25 Februari 2010

[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda]

13 Februari 2010

Kiat Sukses Tribun Timur di Tengah Persaingan



Opini Harian TRIBUN TIMUR Makassar
(www.tribun-timur.com)
Sabtu, 13 Februari 2010

Kiat Sukses Tribun Timur di Tengah Persaingan

Asnawin

(mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Satria Makassar)

Teknologi informasi dan komunikasi telah membentuk kebiasaan baru masyarakat dunia. Siapa saja yang tidak segera menyesuaikan diri, ia akan tertinggal dan dilupakan. Hukum aksiomatik teknologi berkembang berdasarkan deret ukur, melampaui deret hitung. Jika tidak berani melakukan lompatan penyesuaian, kita akan tertinggal jauh.

Demikianlah sifat perubahan dan penetrasi teknologi informasi dan komunikasi terhadap pola dan gaya hidup dalam pergaulan masyarakat modern. Untuk mampu bertahan hidup di era teknologi informasi dan komunikasi dengan perubahan yang gencar dan dahsyat itu, dibutuhkan kemampuan penyesuaian diri.

Charles Darwin dalam teori evolusinya mengatakan bahwa pada akhirnya, bukan yang kuat yang mampu bertahan hidup (survive), melainkan yang bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Teori evolusi yang telah berusia satu setengah abad itu tidak perlu lagi diragukan atau disangkal kebenarannya, termasuk dalam dunia media massa. Banyak media massa, terutama media cetak, yang akhirnya mati karena tak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya dan di lingkungan pergaulan global.

Salah satu contohnya yaitu harian Pedoman Rakyat di Makassar yang terbit sejak 1 Maret 1947 dan pernah begitu berjaya di Sulawesi Selatan, namun akhirnya mati dan tidak terbit lagi sejak 3 Oktober 2007, karena tak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan.

Pertanyaannya kemudian adalah apa kiat atau jurus apa yang digunakan oleh media cetak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan perubahan yang terjadi di sekitarnya agar mampu bertahan hidup dan eksis di tengah persaingan antar-media?

Untuk menjawab pertanyaan itu, izinkan saya mengambil sampel harian Tribun Timur yang terbit di Makassar sejak 9 Februari 2004.

Tribun Timur hadir di saat persaingan antar-media massa begitu ketat. Ketika Makassar disesaki ratusan media massa, mulai dari media cetak, hingga media elektronik dan media online. Hingga Februari 2010 ini saja, PWI Sulawesi Selatan mencatat sekitar 80-an media cetak berdasarkan tempat bekerja wartawan yang terdaftar sebagai anggotanya. Jumlah tersebut sudah jauh berkurang dibandingkan beberapa tahun sebelumnya.

Tribun Timur hadir di saat banyak orang yang ragu atas masa depan media cetak. Pendiri Microsoft, Bill Gates, pada tahun 1990 pernah meramalkan bahwa media cetak ''surat kabar akan mati'' dalam tempo 10 tahun ke depan atau tepatnya sepuluh tahun sejak dimulainya era internet. Ternyata ramalan tersebut tidak terbukti.

Belakangan, Bill Gates kembali membuat ramalan bahwa mungkin sampai 50 tahun ke depan masih ada orang yang mencetak surat kabar, tetapi ia berkeras bahwa suatu saat nanti tidak ada lagi surat kabar atau koran, majalah, dan bahkan buku pun tidak ada lagi yang dicetak. Semua akan tampil secara digital melalui sebuah alat berbentuk tablet atau elektronik paper.

Kita tidak tahu apakah ramalan Bill Gates bakal terbukti atau lagi-lagi meleset. Yang pasti, Bill Gates berpikir dan berbicara sebagai ahli teknologi, bukan sebagai wartawan atau pakar media massa.

Tribun Timur mungkin lebih memercayai Wolfgang Riepl, pemimpin redaksi Nuernberger Zeitung, dibanding Bill Gates.

Pada tahun 1913, Wolfgang Riepl dengan berani mengatakan bahwa media baru bukan pengganti atau substitusi media lama, melainkan tambahan atau kumulatif. Buktinya kehadiran televisi sebagai media massa interaktif, juga tidak mematikan surat kabar, karena televisi hanyalah tambahan atau kumulatif, dan bukan pengganti surat kabar.

Penyesuain

Media massa online yang menggunakan internet sebagai sarananya, memang tengah ''naik daun'' dan digandrungi ratusan juta, bahkan mungkin miliaran orang di dunia, tetapi masih banyak orang yang membutuhkan media cetak surat kabar untuk mendapatkan informasi dan hiburan.

Antara media cetak dan media online akan terjalin sebuah konvergensi, saling melengkapi satu dengan yang lain. Kelebihan media online yang bisa menyajikan berita secara cepat dan real time, memang takkan bisa ditandingi oleh media cetak.

Karena itu untuk bisa bertahan, media cetak harus membuat berbagai perubahan. Perubahan ini misalnya dengan membuat ukuran koran lebih kecil untuk menarik minat sekaligus memudahkan konsumen membacanya, serta membuat versi online.

Media cetak surat kabar, tabloid, dan majalah yang tidak melakukan penyesuaian, baik bentuk maupun isinya, dapat dipastikan akan tertinggal, ditinggalkan pembacanya, dan akhirnya mati.

Apa yang dilakukan oleh harian Tribun Timur sehingga mampu bertahan hidup dan eksis di tengah persaingan antar-media, khususnya di Sulawesi Selatan? Jawabnya, Tribun Timur sudah melakukan banyak hal untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan perubahan di sekitarnya.

Dari berbagai rubrik yang disajikan dalam versi media cetak, Tribun Timur yang lahir bertepatan dengan Hari Pers Nasional (HPN) enam tahun silam, tampak jelas telah dan terus menerus berupaya memenuhi kebutuhan masyarakat profesional kota dan keluarga metropolitan.

Tribun Timur antara lain memanjakan pembacanya dengan suguhan berita dan rubrik gaya hidup (lifestyle), seperti Tribun Women, Tribun Kids, Tribun Health, Cellular Style, Tribun Automoto, Tribun Motor, Tribun Griya, Tribun Skul, Tribun Property, Tribun Techno, Tribun Shopping, Tribun Mal, dan masih banyak lagi.

Rubrik-rubrik tersebut juga sangat interaktif dan variatif, gaul, serta komunikatif. Tribun Timur pun melibatkan masyarakat melalui citizen reporter, melalui pesan singkat sms, melalui facebook, dan public services.

Selain berupaya memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan, Tribun Timur juga berupaya mendekatkan diri dengan masyarakat kabupaten dan desa-desa dengan membuka rubrik daerah (Sulsel dan Sulbar).

Rubrik umum juga banyak, antara lain Opini, Politik, Nasional, Internasional, Bisnis, dan Olahraga (super ball, soccer hot ews, sport style, sport hot news, tribun psm). Tribun pun tak lupa mengakomodir kebutuhan beberapa komunitas, antara lain komunitas warga keturunan Tionghoa.

Sejak awal kelahirannya, Tribun Timur juga langsung hadir dengan edisi online melalui www.tribun-timur.com, yang menampilkan ulang berita-berita dan informasi yang telah ditampilkan dalam versi cetak, serta berita-berita real time (berita-berita yang dapat berubah setiap saat).

Informasi dan berita-berita yang disajikan Tribun Timur melalui berbagai penyesuaian itu telah menimbulkan efek komunikasi massa yang efektif, sehingga disenangi masyarakat dan banyak iklannya. Inilah kiat sukses Tribun Timur sehingga mampu eksis di tengah persaingan antar-media massa.

Rubrik yang disajikan dan gaya penyajian Tribun Timur, baik versi cetak maupun versi online secara langsung maupun tidak langsung telah menerpa, menarik perhatian, memberikan pemahaman, serta mengubah perilaku dan sikap masyarakat pembacanya.

Itu semua tentu tidak terlepas dari hasil penelitian pasar (market research) yang dilakukan manajemen Tribun Timur untuk mengetahui profil pembacanya, rubrik apa yang disenangi, koran apa yang dianggap pesaing, dan sebagainya. Intinya, Tribun Timur ingin mengetahui apakah pasarnya sudah berubah atau belum. Kalau sudah berubah, tentu akan diadakan kebijakan lain agar Tribun Timur tetap disenangi atau tepatnya dipahami pembacanya.

Mengakhiri tulisan ini, izinkan saya mengucapkan Selamat Ulang Tahun ke-6 kepada harian Tribun Timur dan Selamat Hari Pers Nasional 2010. Semoga pers, pemerintah, dan masyarakat dapat saling bersinerji secara positif untuk mengisi kemerdekaan dan membangun bangsa Indonesia ke depan.***

11 Februari 2010

Pilih Cabup Politisi, Birokrat, Praktisi, atau Militer



Pilih Cabup Politisi, Birokrat, Praktisi, atau Militer

Oleh : Asnawin
(Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Satria, Makassar)

Manusia selalu diperhadapkan kepada pilihan-pilihan, termasuk dalam memilih calon pemimpinnya. Ada banyak kriteria calon pemimpin, mulai dari kriteria umum sampai kriteria khusus, tetapi tulisan ini tidak membahas masalah kriteria pemimpin,melainkan gaya kepemimpinan dari sudut pandang Ilmu Komunikasi.

Gaya kepemimpinan yang akan dibahas adalah gaya kepemimpinan para bupati dan walikota di Sulawesi Selatan, agar masyarakat tahu dan kelak dapat menentukan pilihannya bila diperlukan.

Dalam teori ilmu komunikasi disebutkan bahwa kepemimpinan adalah proses memengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan tertentu.

Proses ini tentu memerlukan keahlian berkomunikasi yang efektif, yaitu kemampuan menyampaikan makna, sehingga orang lain terpengaruh dan mau mengerjakan suatu kegiatan yang diharapkan. Setiap gaya kepemimpinan diduga akan memiliki gaya komunikasi tertentu pula yang akan memengaruhi efektifitas kelompok atau masyarakat yang dipimpinnya.

Gaya kepemimpinan, bahasa, dan tindakan para bupati dan walikota di Sulawesi Selatan antara lain bisa dilihat dari latar belakang profesi mereka sebelum menjadi bupati atau walikota.

Dari 24 bupati dan walikota di Sulawesi Selatan saat ini, sebanyak 13 orang di antaranya berlatar-belakang birokrat. Sisanya, empat pengusaha, dua jaksa, dua politisi, serta masing-masing satu akademisi, satu pengacara, dan satu militer. Dengan demikian, ada tujuh latar belakang profesi dari 24 bupati dan walikota di Sulawesi Selatan saat ini.

Dikaitkan dengan beberapa gaya kepemimpinan, dapat dikatakan bahwa seorang birokrat biasanya terpengaruh dengan sistem dan pola. Gaya kepemimpinan atau bahasa dan tindakan birokrat kerapkali mengacu kepada sistem dan pola yang sudah ada, sehingga mereka condong mengendalikan, mengarahkan, menjelaskan, dan memberi instruksi.

Pengusaha biasanya senang dengan tantangan dan tidak terlalu peduli dengan proses. Dalam memimpin, pengusaha cenderung lebih mementingkan hasil dibandingkan proses, sehingga gaya kepemimpinannya lebih banyak memberi tantangan dan rangsangan, serta melibatkan atau memberdayakan orang lain. Seorang pengusaha juga tak jarang ‘’menabrak’’ aturan tetapi tidak melanggar, karena aturan yang beku atau kaku kerapkali menghalangi pencapaian hasil.

Jaksa sebenarnya juga seorang birokrat. Selain terpengaruh dengan sistem dan pola, jaksa juga selalu mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang ada. Bahasa dan tindakan jaksa dalam memimpin lebih banyak menjelaskan, memberi instruksi, serta mengganjar orang yang dipimpinnya.

Pengacara adalah seorang praktisi hukum yang sedikit banyaknya selalu mengacu kepada perundang-undangan atau aturan yang ada dalam setiap bahasa dan tindakannya. Namun sebagai seorang praktisi, seorang pengacara juga cenderung lebih mementingkan hasil dibandingkan proses, sehingga gaya kepemimpinannya lebih banyak memberi tantangan dan rangsangan, serta melibatkan atau memberdayakan orang lain.

Politisi selalu berpikir tentang dampak atau implikasi politik dalam setiap ucapan dan tindakan yang dilakukannya, sehingga gaya kepemimpinannya cenderung lebih banyak mendorong atau mendukung orang lain, tetapi tetap melakukan pengendalian dan tidak melepaskan sepenuhnya kepercayaan yang telah diberikan kepada orang lain.

Seorang akademisi tak pernah berhenti berpikir dan selalu membuat perencanaan sebelum melakukan sesuatu. Bahasanya terstruktur dan tindakannya lebih banyak bersifat mendidik. Gaya kepemimpinan seorang akademisi cenderung menggunakan asumsi ‘’Teori Y’’ McGregor (1967), yang memandang manusia (orang yang dipimpin) sebagai organisme biologis yang tumbuh, berkembang, dan melakukan pengendalian terhadap diri mereka sendiri.

Militer biasanya ‘’sedikit bicara banyak bekerja’’, namun ada kecenderungan gaya kepemimpinannya bersifat mengarahkan atau mengendalikan orang lain, serta memberi ganjaran atau memperkuat orang lain, khususnya orang yang dipimpinnya.

Seorang militer cenderung menggunakan asumsi ‘’Teori X’’ McGregor yang memandang manusia sebagai suatu mesin yang amat memerlukan pengendalian dari luar, sehingga menganggap cara terbaik untuk memotivasi pegawai atau bawahannya adalah dengan memberi rasa takut, ancaman, dan hukuman.

Selain ada pengaruh dari latar belakang profesi mereka, gaya kepemimpinan para bupati dan walikota tentu juga dipengaruhi oleh situasi dan kondisi setempat, baik budaya dan kebiasaan yang ada, maupun perkembangan politik yang terjadi di wilayahnya masing-masing. Dengan demikian, mereka menggunakan kombinasi perilaku komunikatif yang berbeda ketika menanggapi keadaan sekelilingnya.

Gaya Kepemimpinan

Watak dan bakat bawaan juga besar andilnya terhadap gaya kepemimpinan bupati dan walikota. Dari berbagai macam pengaruh tersebut, maka lahirlah sejumlah gaya kepemimpinan, antara lain gaya pengalah (improverished style), gaya pemimpin pertengahan (middle-of-the-road style), gaya tim (team style), gaya kerja (task style), dan gaya santai (country club style). (Blake dan Mouton, 1964).

‘’Gaya Pengalah’’ cenderung menerima atau menyetujui keputusan, pendapat, sikap, dan gagasan orang lain, serta menghindari sikap memihak. Jika terjadi konflik, pemimpin gaya pengalah tetap netral dan berdiri di luar masalah, sehingga jarang terlibat.

‘’Gaya Pemimpin Pertengahan’’ berupaya jujur tetapi tegas terhadap pendapat, gagasan, dan sikap yang berbeda dengan yang dianutnya, serta mencari pemecahan masalah yang tidak memihak. Pemimpin seperti ini berupaya memertahankan keadaan agar tetap baik, tetapi jika mendapat tekanan mungkin saja menjadi bimbang dan mencari jalan untuk menghindari ketegangan.

‘’Gaya Tim’’ sangat menghargai keputusan yang logis dan kreatif. Ia senang mendengarkan dan mencari gagasan, pendapat dan sikap yang berbeda dengan yang dianutnya, serta menghargai pekerjaan orang. Ia mampu mengendalikan diri sekalipun dalam keadaan marah, bahkan mampu menampakkan sikap humor meskipun dalam keadaan tertekan. Pemimpin gaya tim selalu mengikutsertakan orang lain untuk ikut bergabung bersamanya, serta menumbuhkan sikap saling memercayai dan saling menghargai. Bila terjadi konflik, mereka mencoba memeriksa alasan-alasan timbulnya perbedaan dan mencari penyebab utamanya.

‘’Gaya Kerja’’ sangat menghargai keputusan yang telah dibuat, dan memberi perhatian besar kepada pelaksanaan dan penyelesaian pekerjaan secara efisien. Pemimpin gaya kerja cenderung memertahankan gagasan, pendapat, dan sikapnya dengan cara menekan orang lain. Jika terjadi konflik, ia cenderung menghentikannya atau memenangkan posisinya dengan cara membela diri, berkeras pada pendiriannya, atau bahkan mengulangi konflik dengan sejumlah argumentasi baru.

‘’Gaya Santai’’ sangat menghargai hubungan baik di antara sesama orang, serta lebih senang menerima pendapat orang lain dari pada memaksakan kehendaknya. Pemimpin gaya santai selalu bersikap hangat dan ramah untuk mengurangi ketegangan yang ditimbulkan oleh adanya gangguan. Ia menghindari terjadinya konflik, tetapi jika tidak bisa menghindari terjadinya konflik, maka ia mencoba melunakkan perasaan orang lain dan menjaga agar orang lain tetap mau bekerja sama.

Mungkin tidak persis sama antara teori dan kenyataan di lapangan, tetapi sedikit banyaknya ada kemiripan, dan dari situ kita kelak dapat menentukan apakah akan memilih calon bupati dari latar belakang politisi, birokrat, praktisi (pengusaha, pengacara), atau militer.

Khusus kepada para bupati dan walikota yang kini tengah mendapat amanah menjadi pemimpin, diharapkan agar ‘’memperlakukan orang lain sebagai kawan’’, serta ‘’membantu anak buah untuk mengembangkan keahlian yang dibutuhkan pekerjaan’’, atau ‘’mengarahkan anak buah untuk menemukan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki.’’

keterangan:
- artikel opini ini dimuat di Harian Ujungpandang Ekspres, Makassar, pada halaman 2 (rubrik Opini), Jumat, 12 Februari 2010.

14 Januari 2010

Golkar Sulsel di Tangan Syahrul



Harian Fajar
Rubrik Opini (Halaman 4)
Senin, 11 Januari 2010

Golkar Sulsel di Tangan Syahrul

Oleh: Asnawin
(Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi Universitas Satria Makassar)

Perilaku organisasi kadang-kadang dituduh telah menjadi alat ilmiah bagi pihak yang berkuasa. Terlepas dari tuduhan-tuduhan itu, perilaku organisasi dapat memainkan peranan penting dalam perkembangan organisasi dan keberhasilan kerja orang-orang yang berkecimpung di dalamnya.

Seperti manusia, organisasi juga punya nama, punya tubuh (struktur), punya sifat, punya karakter, dan punya perilaku. Organisasi juga dipengaruhi oleh iklim dan lingkungan. Kemampuan beradaptasi dengan iklim dan lingkungan memungkinkan organisasi mampu bertahan hidup dan berusia panjang.

Salah satu jenis organisasi yang paling banyak dibicarakan orang dan sangat besar pengaruhnya dalam pemerintahan dan kemasyarakatan adalah organisasi partai politik. Iklim dan lingkungan perpolitikan di Indonesia yang sangat tidak menentu, telah membuat banyak organisasi partai politik yang gagal mempertahankan hidupnya, sehingga mati dan hilang dari peredaran. Ada juga partai politik yang "hidup segan mati tak mau."

Iklim Pemilu 2009 misalnya, telah menumbangkan puluhan organisasi partai politik (parpol) sehingga kini hanya sembilan parpol yang mampu bertahan hidup di level nasional. Salah satu parpol yang mampu beraklimatisasi dengan Pemilu 2009 adalah Partai Golkar.

Kemampuan Partai Golkar beraklimatisasi, bertahan hidup, dan bahkan menjadi organisasi parpol yang menonjol di antara organisasi sejenis di Indonesia, tidak terlepas dari nama, tubuh (struktur), sifat, karakter, dan perilakunya selama ini.

Partai Golkar Sulawesi Selatan adalah salah satu contoh yang sangat bagus untuk dijadikan bahan diskusi dan bahan penelitian tentang bagaimana sebuah organisasi parpol mampu bertahan hidup dan menjadi terkemuka di antara organisasi sejenis di daerah ini.

Tulisan ini tidak akan membahas sejarah dan perkembangan partai berlambang pohon beringin rindang itu di Sulawesi Selatan, tetapi mencoba melihat bagaimana perilaku Partai Golkar Sulsel sebagai sebuah organisasi parpol di bawah "kendali" Syahrul Yasin Limpo, serta sedikit gambaran tentang sosok Syahrul Yasin Limpo sebagai birokrat dan sebagai organisatoris.

Pada Musda Partai Golkar Sulsel pertengahan November 2009, Syahrul Yasin Limpo yang tidak lain Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan itu, terpilih sebagai ketua DPD I Partai Golkar Sulsel periode 2009-2015 melalui cara musawarah untuk mufakat.

Musyawarah untuk mufakat adalah salah satu perilaku dalam sebuah organisasi (organization behavior). Orang yang berkecimpung di organisasi parpol sangat memahami bahwa setiap kali orang berinteraksi dalam organisasi maka banyak faktor yang ikut bermain di dalamnya.

Setelah terpilih menjadi ketua, Syahrul Yasin Limpo bersama beberapa formatur kemudian menyusun struktur kepengurusan serta memilih orang-orang yang dianggap pantas dan mampu bekerja sama dengan baik dalam mengurus dan membesarkan Partai Golkar Sulsel.

Penyusunan struktur dan pemilihan pengurus sebuah organisasi parpol juga menggambarkan perilaku organisasi. Struktur kepengurusan Partai Golkar Sulsel tidak terlepas dari tindakan-tindakan ketua, formatur, dan pengurus lainnya. Merekalah yang menciptakan struktur, memutuskan, dan juga berkewajiban memeliharanya sehingga Partai Golkar Sulsel dapat tetap eksis ke depan.

Sebagai sebuah perilaku, penyusunan struktur dan pemilihan orang-orang yang duduk dalam struktur tersebut tentu tidak semua orang senang dan bisa menerimanya. Bentuk penolakan itu dapat dilihat dari reaksi internal dan eksternal.

Salah satu reaksi tersebut adalah pengumuman pengunduran diri Ilham Arief Sirajuddin dari kepengurusan Partai Golkar Sulsel. Ilham Arief Sirajuddin adalah ketua umum pengganti antar-waktu Partai Golkar Sulsel selama beberapa bulan di tahun 2009 dan juga satu-satunya pesaing Syahrul Yasin Limpo pada Musda partai tersebut November 2009.

Bukan Manusia Standar

Terpilihnya Syahrul Yasin Limpo sebagai ketua melalui cara musyawarah untuk mufakat, bagaimana struktur kepengurusan saat ini, dan siapa-siapa saja yang duduk dalam struktur tersebut, barulah langkah awal dari berbagai kemungkinan perilaku Partai Golkar Sulsel ke depan. Kita masih akan menunggu bagaimana perilaku Partai Golkar Sulsel di tangan Syahrul dalam menghadapi berbagai situasi dan kondisi perpolitikan di daerah ini dan secara nasional.

Kita masih akan melihat bagaimana perilaku Partai Golkar Sulsel dalam menghadapi pemilihan kepala daerah (pilkada) di sejumlah kabupaten se-Sulawesi Selatan pada tahun 2010 dan pada berbagai agenda politik lima tahun ke depan.

Sebagai seorang mantan bupati dan sebagai Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan yang tengah berkuasa, Syahrul tentu memiliki banyak pengalaman dan juga memiliki kekuatan (power) dalam upaya mencapai tujuan dan berbagai agenda organisasi Partai Golkar Sulsel ke depan.

Dalam berbagai kesempatan, Syahrul menggambarkan dirinya sebagai orang yang mementingkan disain (by design) dan perencanaan (planning). Syahrul tidak suka mengikuti air yang mengalir dan sangat menghindari kecelakaan, termasuk kecelakaan politik.

Pria kelahiran 16 Maret 1955 itu bahkan selalu membuat beberapa perencanaan untuk setiap tujuan yang ingin dicapai. Jika rencana A gagal, maka Syahrul sudah siap dengan rencana B, dan seterusnya. Mungkin itulah yang membuat kariernya terus menanjak, baik di pemerintahan maupun di berbagai organisasi.

Dengan berbagai keberhasilannya di birokrasi dan di organisasi, maka tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Syahrul Yasin Limpo bukanlah manusia standar. Dia berada di atas standar atau di atas rata-rata orang Sulawesi Selatan pada umumnya dalam bidang yang digelutinya.

Perilaku Partai Golkar Sulsel dalam menyikapi berbagai situasi dan kondisi untuk menyukseskan program-program organisasi dan agenda yang telah disusun, termasuk situasi dan kondisi yang di luar perkiraan, tentu banyak dipengaruhi oleh Syahrul Yasin Limpo sebagai ketua umum. Syahrul pasti tidak sendirian dalam mengurus dan membesarkan Partai Golkar Sulsel. Di sana banyak individu dan juga ada faksi atau kelompok-kelompok. Bagaimana perilaku individu-individu dan faksi-faksi tersebut, sangat memengaruhi perilaku organisasi Partai Golkar Sulsel ke depan.

Di sinilah kelak akan dilihat bagaimana kemampuan Syahrul dalam memimpin Partai Golkar Sulsel, dalam melakukan komunikasi internal, dalam berkomunikasi dengan petinggi parpol lainnya, serta dalam mengatur perilaku organisasi partai politik yang dipimpinnya.

Satu hal yang tidak diharapkan yaitu jika perilaku Partai Golkar Sulsel ke depan akhirnya mendapat resistensi yang besar dari masyarakat, karena lebih mementingkan tujuan pribadi (para pengurusnya) dan kelompok, bukan mendahulukan kepentingan masyarakat.

Selamat atas pelantikan ketua dan pengurus Partai Golkar Sulsel, semoga masyarakat Sulsel mendapatkan manfaat dan memberi apresiasi positif atas perilaku organisasi partai ini ke depan. (**)